Analisis Alih Kode dalam Interaksi Bilingual pada Video YouTube Jerome Polin dan Haruka Nakagawa “Lomba Makan Sushi di Ayce Sushi Viral Ft. Haruka! Kaget Banget..”


Analisis Alih Kode dalam Interaksi Bilingual pada Video YouTube Jerome Polin dan Haruka Nakagawa “Lomba Makan Sushi di Ayce Sushi Viral Ft. Haruka! Kaget Banget..”

Oleh: Mukminati Zulfa

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Pascasarjana, Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia Semarang

1. Pendahuluan

Robert Lado (Chaer, 2010:86) dalam (Rahayu, 2017) yang menyatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya. Fenomena bilingualisme telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat global, khususnya di era digital. Di Indonesia, penggunaan dua atau lebih bahasa dalam satu interaksi kini sering dijumpai, terutama di media sosial dan platform video seperti YouTube. Salah satu bentuk dari bilingualisme ini adalah alih kode (code-switching), yakni perpindahan antarbahasa dalam satu konteks komunikasi. Fenomena ini mencerminkan dinamika sosial, identitas, dan strategi komunikasi para penuturnya.

Jerome Polin Sijabat adalah seorang YouTuber, pembuat konten, dan penulis asal Indonesia yang dikenal luas melalui kanal YouTube "Nihongo Mantappu." Lahir pada 2 Mei 1998 di Surabaya, Jerome menempuh pendidikan tinggi di Jepang dengan beasiswa, mengambil jurusan Matematika Terapan di Waseda University, Tokyo. Ia mulai dikenal karena membagikan kehidupan sehari-harinya sebagai mahasiswa Indonesia di Jepang dengan gaya yang edukatif dan menghibur. Selain aktif di dunia digital, Jerome juga telah menulis buku dan menjadi pembicara inspiratif bagi generasi muda. Ia fasih berbahasa Jepang, yang semakin memperkuat daya tarik kontennya, terutama dalam menjembatani budaya Indonesia dan Jepang. Jerome juga merupakan salah satu pendiri perusahaan kreatif Mantappu Corp. yang menaungi beberapa kreator konten lainnya.

Haruka Nakagawa adalah seorang penyanyi, aktris, dan mantan anggota idol group asal Jepang yang dikenal luas di Indonesia. Ia lahir pada 10 Februari 1992 di Tokyo, Jepang. Haruka memulai kariernya sebagai anggota grup idola AKB48 di Jepang, kemudian pada tahun 2012 ia ditransfer ke Jakarta untuk bergabung dengan JKT48, sister group AKB48 di Indonesia. Selama di JKT48, Haruka dikenal karena semangatnya dalam belajar bahasa Indonesia dan kedekatannya dengan para penggemar. Ia menjadi salah satu anggota paling populer di grup tersebut dan berhasil membangun karier di Indonesia, tidak hanya sebagai idola tetapi juga sebagai selebritas dan presenter. Haruka fasih berbahasa Indonesia, yang membuatnya semakin dicintai oleh masyarakat Indonesia dan memperkuat posisinya di dunia hiburan Tanah Air. Setelah lulus dari JKT48 pada tahun 2016, ia tetap aktif di industri hiburan Indonesia dan terus menjalin hubungan erat dengan penggemarnya di kedua negara.

Video YouTube “Lomba Makan Sushi di Ayce Sushi Viral Ft. Haruka! Kaget Banget..” yang menampilkan Haruka Nakagawa dan Jerome Polin dapat dianalisis sebagai video alih kode karena keduanya kerap menggunakan lebih dari satu bahasa dalam komunikasi mereka, terutama bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Penggunaan alih kode (code-switching) dalam konten mereka terjadi secara alami ketika mereka berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain, baik untuk menyampaikan maksud tertentu, menyesuaikan dengan audiens, atau menunjukkan identitas budaya mereka. Misalnya, Jerome sering menggunakan bahasa Jepang ketika berbicara dengan Haruka atau dalam konteks yang berkaitan dengan Jepang, dan sebaliknya, Haruka yang fasih berbahasa Indonesia sering menyisipkan bahasa Indonesia dalam percakapan meskipun dirinya penutur asli bahasa Jepang. Fenomena ini mencerminkan praktik alih kode yang tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai strategi untuk menciptakan kedekatan dengan penonton lintas budaya serta menunjukkan kemampuan bilingual mereka.

Hoffmann (1991) dalam (Sa’ida & Rahman, 2022) menyatakan bahwa alih kode dan campur kode merupakan bagian dari kajian sosiolinguistik yang berfokus pada fenomena bilingualisme. Fenomena ini sering kali dianggap sebagai salah satu indikator kemampuan komunikasi yang meningkat. Alih kode secara umum dapat didefinisikan sebagai peristiwa ketika seorang penutur berpindah dari satu bahasa ke bahasa lainnya dalam satu interaksi. Fenomena ini terjadi dalam berbagai bentuk, baik dalam situasi formal maupun informal, dan melibatkan berbagai faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa dalam konteks komunikasi. Praktik alih kode bukan hanya sekadar menunjukkan kemampuan bilingual atau dua bahasa yang dimiliki oleh seorang penutur, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya, gaya komunikasi, serta dinamika sosial yang turut terbawa dalam setiap interaksi.

Dalam masyarakat yang bersifat bilingual, alih kode dapat dijumpai dalam berbagai situasi, baik di ruang publik, pendidikan, hingga dalam interaksi sosial sehari-hari. Praktik alih kode ini dapat dilihat sebagai refleksi dari fleksibilitas linguistik yang dimiliki oleh para penutur. Hal ini menunjukkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan penggunaan bahasa berdasarkan situasi, lawan bicara, serta tujuan komunikasi yang ingin dicapai. Ketika seseorang berpindah dari satu bahasa ke bahasa lainnya, hal itu bukan hanya sekadar perubahan bahasa secara teknis, tetapi juga merupakan cerminan dari kecerdasan sosial penutur dalam beradaptasi dengan lingkungan komunikasi yang berbeda.

Salah satu contoh paling relevan dalam praktik alih kode ini dapat ditemukan dalam dunia digital, khususnya dalam media sosial dan platform video seperti YouTube. Video-video di YouTube tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai alat komunikasi yang mampu menjangkau audiens yang lebih luas, baik dari segi usia, latar belakang budaya, maupun bahasa. Dalam konteks ini, alih kode tidak hanya berfungsi sebagai bentuk komunikasi, tetapi juga sebagai daya tarik hiburan yang dapat mempererat hubungan antara pembuat konten dan penontonnya.

Sebagai contoh, dalam video yang berjudul "Lomba Makan Sushi di Ayce Sushi Viral Ft. Haruka! Kaget Banget..", praktik alih kode dapat dilihat jelas dalam interaksi antara para pembicara. Dalam video ini, terdapat dua tokoh utama yang menjadi pusat perhatian, yaitu Jerome dan Haruka. Keduanya memiliki latar belakang yang berbeda, di mana Jerome lebih dominan menggunakan bahasa Indonesia, sementara Haruka, yang berasal dari Jepang, lebih sering menggunakan bahasa Jepang. Dalam interaksi ini, mereka sering bergantian menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang, bergantung pada situasi dan audiens yang mereka tuju. Hal ini menjadi contoh nyata bagaimana alih kode berfungsi dalam komunikasi digital, di mana kedua penutur mencoba menciptakan suasana yang lebih hangat dan dekat dengan audiens mereka, yang mungkin berasal dari berbagai latar belakang bahasa.

Penggunaan alih kode dalam video ini tidak hanya mencerminkan kemampuan bahasa yang dimiliki oleh para penutur, tetapi juga memiliki fungsi pragmatis dan sosial yang lebih dalam. Secara pragmatis, alih kode digunakan untuk menyesuaikan dengan konteks komunikasi yang sedang berlangsung. Misalnya, ketika Haruka mengungkapkan sesuatu dalam bahasa Jepang, ia memberikan kesempatan kepada penonton yang memahami bahasa tersebut untuk merasa lebih dekat dengan dirinya. Sementara itu, ketika Jerome menggunakan bahasa Indonesia, ia mencoba menjangkau audiens lokal yang lebih banyak berbicara dalam bahasa tersebut. Dengan cara ini, alih kode bukan hanya digunakan sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai alat untuk mengekspresikan identitas pribadi dan kultural masing-masing.

Secara sosial, alih kode dalam video ini menciptakan hubungan yang lebih intim antara pembuat konten dan penontonnya. Dalam masyarakat yang semakin global dan terhubung melalui internet, penggunaan bahasa yang beragam dapat memperlihatkan keberagaman budaya yang ada. Ketika Jerome dan Haruka bergantian menggunakan bahasa Indonesia dan Jepang, mereka tidak hanya menunjukkan kemampuan bahasa, tetapi juga menunjukkan penghormatan terhadap keberagaman budaya yang ada. Dengan cara ini, alih kode tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi semata, tetapi juga sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan terhadap identitas kultural orang lain.

Selain itu, praktik alih kode dalam video ini juga dapat dilihat sebagai bentuk strategi untuk menarik perhatian audiens yang lebih luas. Menggunakan lebih dari satu bahasa dalam komunikasi dapat membuat konten terasa lebih inklusif, sehingga audiens dari berbagai latar belakang dapat merasa lebih terhubung dengan pembicara. Dalam video YouTube, audiens terdiri dari berbagai kelompok sosial, etnis, dan bahkan usia. Oleh karena itu, penggunaan alih kode dapat berfungsi sebagai alat untuk membangun hubungan yang lebih kuat dengan audiens tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk alih kode yang digunakan dalam video "Lomba Makan Sushi di Ayce Sushi Viral Ft. Haruka! Kaget Banget.." serta menganalisis fungsi pragmatis dan sosial dari penggunaannya. Penelitian ini akan melibatkan analisis mendalam terhadap interaksi yang terjadi dalam video tersebut, dengan tujuan untuk memahami bagaimana alih kode digunakan dalam konteks media digital yang semakin populer, khususnya di kalangan masyarakat urban dan generasi muda. Dengan memeriksa contoh konkret dari interaksi dalam video ini, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam kajian sosiolinguistik, khususnya dalam memahami praktik alih kode di dunia maya.

Praktik alih kode dalam video YouTube seperti ini juga mencerminkan perubahan dalam cara kita berkomunikasi di era digital. Di masa lalu, alih kode mungkin lebih sering terjadi dalam konteks komunikasi tatap muka, seperti di pasar atau di ruang kelas. Namun, dengan kemajuan teknologi dan semakin meluasnya penggunaan internet, alih kode kini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk komunikasi digital, termasuk dalam video-video YouTube, podcast, dan media sosial lainnya. Fenomena ini menunjukkan bagaimana bahasa terus berkembang mengikuti dinamika sosial dan budaya, serta bagaimana teknologi telah mengubah cara kita berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain.

Dalam konteks ini, alih kode dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat. Misalnya, dengan semakin banyaknya orang yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda, alih kode menjadi cara untuk menanggapi perubahan ini. Dalam dunia digital yang semakin terhubung ini, alih kode tidak hanya terbatas pada interaksi antarbahasa, tetapi juga mencakup interaksi antarbudaya yang semakin sering terjadi.

Secara keseluruhan, praktik alih kode dalam video "Lomba Makan Sushi di Ayce Sushi Viral Ft. Haruka! Kaget Banget.." merupakan contoh yang sangat baik dari bagaimana bahasa digunakan dalam dunia digital untuk menciptakan kedekatan antara pembicara dan audiens. Dengan menggunakan lebih dari satu bahasa, para penutur tidak hanya menampilkan kemampuan bahasa mereka, tetapi juga mengkomunikasikan identitas budaya dan sosial mereka, serta beradaptasi dengan audiens yang beragam. Analisis terhadap praktik alih kode dalam video ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih dalam mengenai peran bahasa dalam komunikasi digital, serta memberikan kontribusi dalam perkembangan kajian sosiolinguistik di era digital ini.

2. Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus sebagai landasan utama dalam pengumpulan dan analisis data. Pendekatan ini dipilih karena dianggap paling sesuai untuk mengkaji fenomena bahasa yang kompleks dan kontekstual seperti alih kode (code-switching) dalam komunikasi nyata. Dengan pendekatan kualitatif, peneliti dapat mengeksplorasi dinamika bahasa yang digunakan secara alami oleh para penutur dalam situasi tertentu, termasuk bagaimana dan mengapa alih kode digunakan dalam interaksi antarpenutur. Sementara itu, metode studi kasus memungkinkan peneliti untuk menyelidiki secara mendalam satu kasus spesifik dalam konteks yang kaya dan bermakna, yakni percakapan dalam video YouTube sebagai media komunikasi modern.

Fokus utama dari penelitian ini adalah interaksi verbal antara Jerome Polin dan Haruka Nakagawa dalam video berjudul “Lomba Makan Sushi di Ayce Sushi Viral Ft. Haruka! Kaget Banget..” yang diunggah di kanal YouTube Nihongo Mantappu. Video ini dipilih karena menampilkan interaksi bilingual antara dua individu dengan latar belakang bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu Jerome sebagai penutur asli bahasa Indonesia dan Haruka sebagai penutur asli bahasa Jepang yang juga fasih berbahasa Indonesia. Situasi ini menciptakan ruang linguistik yang menarik untuk diamati, di mana terjadi percampuran bahasa (bahasa Indonesia, Jepang, dan sedikit bahasa Inggris) dalam konteks yang alami dan tidak direkayasa. Oleh karena itu, video ini menyediakan data yang autentik untuk menganalisis bentuk dan fungsi alih kode dalam komunikasi digital.

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah transkrip percakapan antara Jerome dan Haruka yang diperoleh dari hasil observasi langsung terhadap video. Proses pengumpulan data dilakukan secara cermat dengan cara menonton ulang video beberapa kali untuk mengidentifikasi segmen-segmen percakapan yang mengandung alih kode. Setiap kali ditemukan adanya perpindahan bahasa, kutipan tersebut dicatat beserta waktu kemunculannya, sehingga memudahkan analisis kontekstual. Kutipan-kutipan ini kemudian diklasifikasikan berdasarkan jenis dan fungsi alih kode menggunakan kerangka teori yang relevan.

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan teori alih kode yang dikemukakan oleh Hoffman (1991) sebagai dasar utama. Menurut Hoffman, alih kode merupakan perpindahan bahasa yang dilakukan oleh penutur dalam satu wacana atau konteks komunikasi. Hoffman membagi alih kode berdasarkan bentuknya menjadi tiga kategori utama:

  1. Alih kode inter-sentensial: Perpindahan bahasa terjadi antar kalimat yang berdiri sendiri. Misalnya, satu kalimat diucapkan dalam bahasa Indonesia, dan kalimat berikutnya dalam bahasa Jepang.
  2. Alih kode intra-sentensial: Perpindahan bahasa terjadi di dalam satu kalimat atau klausa, di mana unsur dari dua bahasa digunakan secara bergantian dalam satu struktur sintaksis.
  3. Tag switching: Penyisipan unsur linguistik kecil dari bahasa lain, seperti kata seru, ungkapan pendek, atau partikel, misalnya “ne?”, “loh”, “yes”, dan sebagainya (Indah et al., 2018).

Selain mengidentifikasi bentuk-bentuk alih kode, analisis juga mengacu pada fungsi-fungsi alih kode dalam komunikasi. Masih mengacu pada teori Hoffman (1991), alih kode dapat berfungsi untuk:

  1. Menekankan makna atau memperkuat pesan yang disampaikan penutur.
  2. Menyampaikan humor atau keakraban, terutama ketika berbicara dengan teman dekat atau dalam konteks santai.
  3. Menunjukkan identitas sosial dan kultural, yang mencerminkan latar belakang penutur atau upaya untuk membangun citra tertentu.
  4. Menyesuaikan diri dengan lawan bicara, agar komunikasi lebih efektif dan akrab.
  5. Mengekspresikan emosi atau keheranan, yang terkadang lebih mudah dilakukan dengan bahasa tertentu yang dianggap lebih ekspresif.

Dengan berpedoman pada klasifikasi tersebut, setiap kutipan dalam data dianalisis untuk menentukan bentuk dan fungsinya. Peneliti tidak hanya melihat alih kode sebagai fenomena linguistik, tetapi juga mempertimbangkan konteks situasional dalam video. Ini mencakup ekspresi wajah, intonasi suara, gesture tubuh, serta relasi sosial antara Jerome dan Haruka. Misalnya, ketika Haruka menggunakan bahasa Jepang untuk mengungkapkan keterkejutan, ekspresi wajah dan intonasinya menunjukkan bahwa alih kode tersebut berfungsi untuk mengekspresikan emosi secara lebih otentik. Sebaliknya, ketika Jerome menyisipkan kata-kata Jepang dalam kalimat berbahasa Indonesia, hal ini tampak sebagai upaya untuk membangun keakraban dan menunjukkan kemampuan berbahasa Jepang secara santai.

Selain itu, interaksi dalam video YouTube juga menunjukkan bahwa alih kode bisa menjadi sarana untuk membangun hubungan sosial dan hiburan bagi penonton. Kanal Nihongo Mantappu sendiri memiliki banyak penonton yang memahami baik bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang, sehingga perpindahan antar bahasa justru memperkaya pengalaman menonton. Dalam hal ini, alih kode juga berfungsi sebagai alat retoris yang mendukung gaya komunikasi khas Jerome yang menghibur dan penuh spontanitas.

Melalui analisis yang holistik ini, penelitian tidak hanya mengungkap struktur linguistik dari alih kode, tetapi juga nilai pragmatis dan sosial yang terkandung di dalamnya. Alih kode dipahami sebagai bagian dari strategi komunikasi yang digunakan oleh pembicara bilingual untuk menyesuaikan diri dengan situasi, audiens, dan tujuan komunikasi mereka. Dalam konteks media digital seperti YouTube, fenomena ini menjadi semakin relevan karena batas antar bahasa dan budaya semakin kabur, dan komunikasi lintas bahasa menjadi bagian dari praktik sehari-hari.

Dengan demikian, penelitian ini memberikan kontribusi dalam memahami dinamika penggunaan alih kode dalam komunikasi lintas budaya dan lintas media, khususnya dalam platform digital yang populer di kalangan generasi muda. Studi ini juga menunjukkan bagaimana bilingualisme tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga menjadi bagian dari identitas dan gaya hidup yang ditampilkan secara sadar di ruang publik.

3. Pembahasan

Berdasarkan analisis transkrip video, ditemukan tiga bentuk utama alih kode yang dilakukan oleh Jerome dan Haruka yaitu alih kode intra-sentensial berjumlah 4 data, alih kode intersentensial sebanyak 5 data dan Tag Switching sebanyak 5 data.

a. Alih Kode Intra-sentensial

          Alih kode intra sentensial adalah peralihan bahasa yang terjadi di dalam satu kalimat atau klausa, melibatkan satuan sintaksis seperti kata, frasa, atau klausa yang berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain tanpa jeda atau interupsi (Wulandari et al., 2016)

  1. Kutipan 1: “Kamu suka wasabi? Hontou ni?”

          Pada Kutipan 1 pada menit 01:15 terdapat penggunaan frasa hontou ni (本当に / “benarkah?” atau “sungguh?”) pada akhir kalimat merupakan strategi alih kode intra-sentensial yang memiliki fungsi pragmatik untuk menekankan rasa heran atau ketidakpercayaan Jerome terhadap pernyataan Haruka. Kata ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena dalam praktik sehari-hari, hontou ni memiliki nuansa ekspresif yang kuat dan menjadi bagian dari interjeksi khas dalam bahasa Jepang. Secara sosial, penyisipan ini memperlihatkan tingkat kefasihan Jerome dalam bahasa Jepang, serta menunjukkan kedekatan sosial dan emosional yang dibangun melalui penggunaan bahasa yang lebih familiar bagi lawan bicara.

  1. Kutipan 2: “Aku udah kenyang tapi pengen makan ikura lagi.”

 Pada Kutipan 2 pada menit 03:45 terdapat penggunaan kata ikura (イクラ / telur ikan salmon) digunakan dalam konteks makanan khas Jepang. Penggunaan istilah ini daripada terjemahan bahasa Indonesia mencerminkan pilihan leksikal yang spesifik terhadap objek budaya. Ini adalah bentuk referential code-switching, di mana penutur memilih istilah dalam bahasa asal karena tidak ada padanan yang sepadan dalam bahasa target, atau karena ingin mempertahankan kekhasan budaya makanan tersebut. Dari perspektif identitas, penggunaan istilah ini menunjukkan keakraban Jerome terhadap budaya Jepang dan mengisyaratkan target audiens yang juga akrab dengan istilah kuliner Jepang.

  1. Kutipan 3: “Kamu cepet banget makannya, kayak shinkansen.”

 Pada Kutipan 3 pada menit 05:20 terdapat penggunaan alih kode pada kata shinkansen (新幹線 / kereta cepat Jepang) berfungsi sebagai metafora dalam deskripsi perilaku. Penggunaan istilah ini, alih-alih kata “kereta cepat” dalam bahasa Indonesia, membawa konotasi kecepatan yang sangat spesifik, yang secara budaya melekat pada Jepang. Ini menunjukkan pemanfaatan cultural-specific vocabulary dalam gaya bicara Jerome untuk menciptakan efek retoris yang khas. Selain itu, alih kode ini memberi lapisan humor dan informalitas, sekaligus memperkaya kualitas komunikatif dengan referensi lintas budaya yang relevan dengan penonton.

  1. Kutipan 4: “Aku suka banget sushi yang ada tamagoyaki-nya.”

Pada Kutipan 4 pada menit 08:10 terdapat penggunaan kata Tamagoyaki (卵焼き / telur gulung khas Jepang) digunakan dalam alih kode intra-sentensial sebagai bagian dari deskripsi jenis sushi yang disukai. Penggunaan istilah asli Jepang ini tidak hanya mempertahankan keaslian rujukan makanan, tetapi juga memperlihatkan penguasaan Jerome terhadap istilah kuliner Jepang yang spesifik. Dari sudut sosiolinguistik, ini memperkuat citra Jerome sebagai figur yang menggabungkan identitas Indonesia dan Jepang. Penggunaan bentuk morfologi Indonesia “-nya” pada akhir kata tamagoyaki juga menunjukkan proses pembauran bahasa (morphosyntactic integration), di mana kata asing diadopsi ke dalam struktur gramatikal Indonesia.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa alih kode intra-sentensial dalam interaksi Jerome dan Haruka bukanlah bentuk campur aduk tanpa tujuan, melainkan strategi komunikatif yang sarat makna. Fungsi utamanya meliputi penekanan ekspresi emosional dan interpersonal, penunjukan keakraban budaya dan identitas bilingual, penguatan konteks tematik (kuliner Jepang), kekayaan retoris dan humoris dalam komunikasi informal.

Penggunaan alih kode intra-sentensial ini mengindikasikan adanya integrasi budaya yang terjadi secara alami dalam komunikasi mereka. Dalam hal ini, Jerome dan Haruka tidak hanya menggunakan istilah Jepang sebagai penanda makna, tetapi juga sebagai simbol budaya. Alih kode semacam ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya berbagi bahasa, tetapi juga membagi pengalaman dan identitas budaya secara bersamaan. Selain itu, penggunaan kosakata khas Jepang dalam konteks makanan juga memperkaya makna komunikasi dan memberikan pengalaman yang lebih autentik kepada penonton.

b. Alih Kode Inter-sentensial

          Alih kode inter-sentensial adalah perpindahan bahasa yang terjadi pada batas antara kalimat atau klausa, di mana satu kalimat menggunakan satu bahasa dan kalimat berikutnya menggunakan bahasa lain (Suastini et al., 2015)

5.     Kutipan 5:

Jerome: “Sekarang giliran kamu.”

 Haruka: “じゃあ、いきます!” (Jaa, ikimasu! / Baik, saya mulai!)

Pada Kutipan 5 pada menit 02:05 terdapat perpindahan bahasa dari bahasa Indonesia (oleh Jerome) ke bahasa Jepang (oleh Haruka) menunjukkan bentuk alih kode inter-sentensial yang alami dalam konteks percakapan bilingual. Kalimat jaa, ikimasu! digunakan Haruka sebagai bentuk inisiasi aksi, dengan gaya bahasa khas Jepang yang ekspresif dan spontan. Penggunaan frasa ini bukan hanya berfungsi komunikatif, melainkan juga menandai identitas Haruka sebagai penutur asli bahasa Jepang. Selain itu, penggunaan bahasa Jepang memperkuat cultural script yang bersifat sopan dan energik, yang juga memperkaya dinamika interaksi lintas budaya.

6.     Kutipan 6:

 Haruka: “Aku suka salmon.”

 Jerome: “うまいよね、サーモン。” (Umai yo ne, saamon. / Enak, ya, salmon.)

Pada Kutipan 6 pada menit 04:30 bentuk alih kode dilakukan oleh Jerome sebagai respons terhadap pernyataan Haruka. Ia berpindah dari bahasa Indonesia ke bahasa Jepang untuk menyatakan persetujuan. Frasa umai yo ne merupakan bentuk evaluatif yang menyatakan selera secara informal, dengan partikel yo ne yang memberi kesan keakraban dan solidaritas sosial. Ini menunjukkan empati linguistik, yakni kemampuan Jerome untuk menyesuaikan kode bahasa dengan lawan bicara yang bilingual, sekaligus memperkuat hubungan sosial dan kohesi dalam komunikasi. Strategi ini juga mencerminkan peran Jerome sebagai komunikator lintas budaya yang efektif.

  1. Kutipan 7:

 Jerome: “Kamu kuat banget makannya.”

 Haruka: “もちろん!” (Mochiron! / Tentu saja!)

Pada Kutipan 7 pada menit 06:00 terdapat proses alih kode oleh Haruka berupa satu kalimat afirmatif dalam bahasa Jepang menunjukkan ekspresi diri yang kuat dan penuh percaya diri. Mochiron (もちろん) adalah ungkapan umum dalam bahasa Jepang untuk menyatakan keyakinan atau kesediaan dengan gaya langsung namun sopan. Pilihan untuk tetap menggunakan bahasa Jepang di sini mencerminkan kebiasaan pragmatik Haruka dalam mengekspresikan identitas budaya Jepang-nya. Ini juga menunjukkan bagaimana alih kode digunakan sebagai alat untuk mempertegas identitas personal dan sosial dalam interaksi lintas bahasa.

  1. Kutipan 8:

 Haruka: “Aku sudah selesai.”

 Jerome: “はやっ!” (Hayak! / Cepat amat!)

Pada Kutipan 8 pada menit 07:25 terdapat respon Jerome dengan kata hayak! adalah bentuk alih kode inter-sentensial yang menandai keterkejutan dengan gaya ekspresif Jepang. Kata ini berasal dari hayai (早い / cepat) yang dipendekkan dan diberi intonasi kaget atau takjub. Bentuk ini sangat khas dalam percakapan sehari-hari bahasa Jepang, terutama di kalangan anak muda, dan menciptakan efek komik yang ringan. Strategi ini digunakan Jerome untuk menciptakan suasana santai dan lucu, serta memperlihatkan kemahirannya dalam meniru gaya tutur khas Jepang. Fungsi sosialnya adalah untuk membangun suasana informal yang cair dan menyenangkan.

  1. Kutipan 9:

 Jerome: “Yuk lanjut!”

 Haruka: “がんばります!” (Ganbarimasu! / Saya akan berusaha!)

Pada Kutipan 9 pada menit 09:00 terdapat frasa ganbarimasu memiliki makna budaya yang dalam dalam konteks Jepang: mengandung semangat kerja keras, tekad, dan pantang menyerah. Penggunaan frasa ini oleh Haruka menunjukkan motivasi dan komitmen secara sosial, serta berfungsi sebagai bentuk sopan dalam menanggapi ajakan atau tantangan. Secara pragmatik, ini adalah ekspresi yang sarat makna budaya dan emosional, bukan sekadar literal. Dalam konteks lomba makan, ini juga menambah nuansa performatif dan dramatis yang sesuai dengan genre konten hiburan YouTube. Alih kode ini memperkuat karakter Haruka sebagai figur yang mempertahankan gaya komunikasi khas Jepang dalam interaksi bilingual.

Bentuk alih kode inter-sentensial dalam interaksi Jerome dan Haruka memiliki fungsi yang tidak hanya komunikatif, melainkan juga identitatif dan sosial. Secara keseluruhan, strategi ini memperkuat identitas bilingual dan budaya masing-masing individu, meningkatkan keakraban, empati, dan kohesi sosial dalam percakapan, memberi nuansa ekspresif dan memperkaya dinamika interaksi secara verbal dan nonverbal, menciptakan suasana interkultural yang cair, inklusif, dan menarik bagi audiens yang juga memiliki paparan terhadap dua bahasa.

Alih kode jenis ini memainkan peran penting dalam memperkuat relasi sosial antara Jerome dan Haruka. Dengan menggunakan bahasa Jepang, Jerome menunjukkan rasa hormat dan kedekatannya terhadap Haruka dan budaya Jepang secara umum. Sebaliknya, Haruka yang menggunakan bahasa Indonesia menunjukkan usahanya untuk terhubung dengan audiens Indonesia serta menyesuaikan diri dengan konteks sosial tempat ia berada. Dengan demikian, alih kode inter-sentensial menjadi sarana untuk menegaskan identitas sosial dan menciptakan ruang komunikasi yang inklusif, di mana kedua budaya bisa hidup berdampingan dan saling memperkaya.

c. Tag-switching

Tag switching, yakni penyisipan kata atau frasa pendek dari bahasa lain sebagai penanda emosional atau ekspresif, juga kerap muncul dalam video. Frasa seperti “sugoi!”, “yabai”, atau “eh, masaka!” diucapkan dalam konteks yang penuh emosi, biasanya untuk menanggapi kejadian lucu, mengejutkan, atau menggembirakan. Tag switching ini tidak hanya menambahkan warna pada komunikasi, tetapi juga menjadi alat penting untuk mengekspresikan perasaan secara lebih autentik dan spontan.

Fungsi tag switching tidak hanya terbatas pada aspek ekspresif, tetapi juga merepresentasikan kedekatan budaya. Dengan menyisipkan frasa-frasa khas Jepang, baik Jerome maupun Haruka memperkuat suasana budaya Jepang dalam video tersebut. Hal ini penting dalam konteks video yang bertemakan makanan Jepang, di mana penggunaan bahasa Jepang menjadi bagian dari penciptaan suasana yang menyeluruh. Tag switching menjadi semacam "bumbu" tambahan yang memperkaya narasi dan memberikan kesan mendalam bagi penonton.

10. Kutipan 10: “Oke, kita mulai lombanya, ne~?”

Pada Kutipan 10 pada detik 00:50 terdapat penambahan partikel oleh si penutur ungkapan ne~ () berasal dari bahasa Jepang dan berfungsi sebagai ajakan konfirmasi atau pencipta solidaritas dalam percakapan. Meskipun kalimatnya berbahasa Indonesia, penambahan ne~ di akhir kalimat menjadikan ujaran tersebut terdengar lebih lembut, akrab, dan inklusif. Fungsi tag switching di sini adalah sebagai penanda interpersonal—seolah Jerome ingin memastikan bahwa lawan bicaranya setuju dan merasa terlibat. Secara sosiolinguistik, penyisipan ini juga menunjukkan adaptasi Jerome terhadap norma percakapan Jepang, sekaligus memperkuat persona multibahasa yang hangat dan bersahabat.

  1. Kutipan 11: “Ini enak banget, yo!

Pada Kutipan 11 pada menit 03:10 terdapat penambahan partikel oleh si penutur ungkapan yo! () dalam bahasa Jepang digunakan untuk menekankan informasi yang baru bagi lawan bicara atau untuk menunjukkan antusiasme. Dalam kutipan ini, Jerome menggunakan yo! setelah kalimat dalam bahasa Indonesia, menjadikan pernyataannya lebih bersemangat dan ekspresif. Fungsi pragmatik dari tag ini adalah penekanan evaluatif, yakni memperkuat kesan pribadi terhadap makanan yang dikonsumsi. Dari segi identitas, penyisipan yo! memberi warna khas Jepang pada ekspresi Jerome, mencerminkan pengaruh budaya Jepang dalam gaya komunikasinya. Partikel yo! digunakan untuk menekankan informasi, ciri khas dalam percakapan bahasa Jepang yang menunjukkan antusiasme.

  1. Kutipan 12: “Aku bisa makan ini terus tiap hari, mou~.”

Pada Kutipan 12 pada menit 05:55 terdapat penambahan partikel oleh si penutur ungkapan Mou~ (もう) adalah interjeksi dalam bahasa Jepang yang sering digunakan untuk menyampaikan rasa kesal manja, keheranan, atau emosi ringan yang bersifat personal. Dalam kutipan ini, mou~ berfungsi sebagai ekspresi dramatik dan emosional yang memperkuat makna hiperbolik dari pernyataan sebelumnya. Meski artinya secara literal adalah “sudah”, dalam konteks lisan ekspresif Jepang, ia bisa menunjukkan rasa tidak percaya atau gemas. Fungsi tag switching ini bersifat afektif, menambahkan dimensi emosional ke dalam ujaran, serta memperlihatkan gaya komunikasi Jepang yang ekspresif dan teatrikal.

  1. Kutipan 13: “Eh, kalah lagi aku, jaa ne!

Pada Kutipan 13 pada menit 07:40 terdapat penambahan artikel oleh si penutur ungkapan jaa ne! (じゃあね / “sampai jumpa”) digunakan sebagai penutup yang santai dan informal dalam budaya Jepang. Dalam kutipan ini, jaa ne! tidak digunakan sebagai ucapan perpisahan sungguhan, tetapi sebagai ekspresi bercanda saat kalah dalam permainan. Ini menciptakan nuansa humor dan ringan, dan mengekspresikan sikap legawa secara bergaya. Tag ini menandakan Jerome (atau Haruka) tidak hanya fasih secara bahasa, tapi juga memahami fungsi pragmatik kultural dari ekspresi tersebut. Ini memperkuat citra sebagai figur yang bisa berinteraksi dalam dua dunia budaya sekaligus.

  1. Kutipan 14: “Makan terus ya, itadakimasu~.”

Pada Kutipan 14 pada menit 01:30 terdapat penambahan artikel oleh si penutur ungkapan Itadakimasu (いただきます) adalah frasa sopan dalam budaya Jepang yang diucapkan sebelum makan, sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan terhadap makanan dan orang yang menyiapkannya. Meskipun tidak memiliki padanan budaya langsung di Indonesia, Jerome atau Haruka menyisipkannya sebagai bentuk penghormatan budaya Jepang dan untuk menegaskan konteks ritual kuliner Jepang dalam video. Fungsi tag switching di sini bersifat identitatif dan ritualistik, menunjukkan kedalaman pemahaman terhadap etika sosial Jepang, dan menandai konteks makan sebagai sesuatu yang melampaui aktivitas fisik—yakni bagian dari nilai budaya.

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa tag switching berfungsi lebih dari sekadar variasi bahasa. Ia memiliki fungsi pragmatik dan sosiokultural yang penting, antara lain: menunjukkan kedekatan emosional dan afeksi (misalnya, mou~, yo!), menyampaikan nilai budaya dan norma interaksi (misalnya, itadakimasu, jaa ne!), meningkatkan ekspresivitas dan estetika komunikasi, menandai identitas sosial sebagai bilingual yang lentur dan sadar konteks. Dengan demikian, tag switching dalam interaksi Jerome dan Haruka memperlihatkan kompetensi pragmatik lintas budaya, memperkaya komunikasi mereka secara emosional, kultural, dan estetis.

4. Simpulan

Yang menarik dari alih kode dalam video ini adalah bahwa penggunaannya tampak dilakukan secara sadar dan terencana, bukan sekadar hasil dari keterbatasan kosakata atau kebingungan dalam berbahasa. Jerome dan Haruka, yang keduanya telah memiliki pengalaman lintas budaya dan bilingualisme yang kuat, tampak sengaja memilih kapan dan bagaimana mereka beralih kode. Kesadaran ini menunjukkan bahwa alih kode tidak semata-mata fenomena linguistik, tetapi juga strategi komunikasi yang disengaja untuk membangun koneksi, memperkuat ekspresi, dan merepresentasikan identitas.

Bagi penonton, terutama dari kalangan muda yang hidup dalam lingkungan multilingual, alih kode seperti ini menciptakan rasa keakraban dan keterhubungan. Mereka bisa melihat diri mereka tercermin dalam cara Jerome dan Haruka berinteraksi—menggunakan dua (atau lebih) bahasa untuk mengekspresikan pikiran dan emosi dengan lebih leluasa. Video semacam ini juga menjadi sarana pembelajaran bahasa dan budaya yang menyenangkan, memperkenalkan penonton pada nuansa sosial dalam penggunaan bahasa secara kontekstual.

Alih kode dalam video “Lomba Makan Sushi di Ayce Sushi Viral Ft. Haruka! Kaget Banget..” antara Jerome Polin dan Haruka Nakagawa menunjukkan dinamika komunikasi bilingual yang kaya makna. Alih kode intra-sentensial mencerminkan integrasi budaya melalui kosakata Jepang dalam konteks kuliner, inter-sentensial memperkuat hubungan sosial dan identitas penutur, sementara tag switching berfungsi sebagai alat ekspresif dan penanda kedekatan budaya. Secara keseluruhan, alih kode digunakan secara sadar untuk memperkuat ekspresi, membangun koneksi, dan merepresentasikan identitas kultural dalam interaksi santai namun sarat makna.

Daftar Pustaka:

Indah, C., Valentine, N., Rismaniar, N. S., Paramitha, A. W., & Switching, C. (2018). Alih Kode dan Campur Kode dalam Akun Insagram Selebriti Indonesia. Proceeding Sendi_u, 978–979.

Rahayu, I. (2017). Bilingualisme pada Masyarakat Desa Matanghaji. Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 4(2), 104. https://doi.org/10.33603/deiksis.v4i2.614

Sa’ida, S. R., & Rahman, Y. (2022). Alih Kode Dan Campur Kode Pada Film Who Am I-Kein System Ist Sicher. E-Journal Identitaet, 2, 1–11.

Sahrawi, S., & Anita, F. (2019). Analisis Penggunaan Code Switching. Jurnal Pendidikan Bahasa, 8(1), 171. https://doi.org/10.31571/bahasa.v8i1.1143

Suastini, N. W., Bagus, I., Nova, G., Kadek, N., & Juniari, D. (2015). Alih Kode Pada Novel “ Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta .” Seminar Nasional Linguistik Dan Sastra, 2008, 164–172.

Wulandari, R., Marmanto, S., & Sumarlam, S. (2016). Alih Kode dalam Dialog Novel Surga Yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia. PRASASTI: Journal of Linguistics, 1(2), 359. https://doi.org/10.20961/prasasti.v1i2.1400

 

 

Komentar