Menelusuri Pendekatan dan Pengembangan Makna dalam Wacana Berdasarkan Karakteristiknya

 

Menelusuri Pendekatan dan Pengembangan Makna dalam Wacana Berdasarkan Karakteristiknya

Mukminati Zulfa

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Pascasarjana, Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia Semarang

zulfamukminati@gmail.com

Pendahuluan

Dalam kajian linguistik, wacana merujuk pada penggunaan bahasa dalam konteks komunikasi, baik lisan maupun tulisan, yang melampaui batasan kalimat tunggal. Wacana mencakup struktur linguistik yang lebih luas dan memiliki hubungan dengan aspek sosial, budaya, serta kognitif. Dengan demikian, wacana tidak hanya dipahami sebagai rangkaian kata atau kalimat, tetapi juga sebagai suatu unit komunikasi yang memiliki makna dalam konteks tertentu. Memahami pendekatan dalam analisis wacana menjadi penting karena setiap wacana mengandung makna yang dapat bervariasi tergantung pada konteks penggunaannya. Analisis wacana memungkinkan peneliti untuk mengungkap bagaimana makna dikonstruksi, dipahami, dan diinterpretasikan oleh pembaca atau pendengar. Hal ini sangat relevan dalam berbagai bidang seperti linguistik, komunikasi, sosiologi, dan studi budaya.

Pengembangan makna dalam wacana sangat memengaruhi pemahaman pembaca atau pendengar. Makna yang disampaikan dalam suatu teks atau ujaran tidak hanya bergantung pada kata-kata yang digunakan, tetapi juga pada konteks, tujuan komunikasi, serta latar belakang sosial dan budaya dari pihak yang terlibat. Oleh karena itu, analisis wacana membantu dalam memahami bagaimana makna dibentuk dan ditafsirkan dalam berbagai situasi komunikasi. Salah satu tantangan utama dalam menafsirkan makna dalam suatu wacana adalah adanya ambiguitas bahasa serta perbedaan latar belakang penutur dan pendengar. Faktor-faktor seperti bias budaya, perbedaan persepsi, dan konteks sosial dapat memengaruhi bagaimana suatu wacana dipahami. Selain itu, dalam wacana tertulis, keterbatasan ekspresi non-verbal dapat menjadi kendala dalam menangkap makna secara akurat.

Karakteristik suatu wacana juga memengaruhi cara makna dikembangkan. Wacana formal cenderung memiliki struktur yang lebih sistematis dan eksplisit, sedangkan wacana informal sering kali mengandalkan makna implisit yang bergantung pada konteks dan hubungan sosial antara penutur dan pendengar. Hal ini menunjukkan bahwa makna dalam wacana dapat bersifat eksplisit, yakni makna yang secara langsung dapat dipahami dari teks, maupun implisit, yaitu makna yang harus ditafsirkan berdasarkan konteks dan latar belakang komunikasi (Wiyanti, 2016).

Terdapat berbagai pendekatan dalam analisis wacana yang digunakan untuk menelusuri makna, di antaranya adalah pendekatan struktural, fungsional, kritis, dan interaksional. Pendekatan struktural berfokus pada analisis bentuk dan pola bahasa dalam wacana, sedangkan pendekatan fungsional menekankan pada tujuan komunikasi dan fungsi bahasa dalam konteks sosial tertentu. Sementara itu, pendekatan kritis melihat wacana sebagai alat yang merefleksikan dan membentuk kekuasaan serta ideologi dalam masyarakat. Pendekatan interaksional, di sisi lain, menekankan pada aspek pragmatik dan interaksi antara partisipan dalam komunikasi.Konteks sosial dan budaya memainkan peran penting dalam pengembangan makna dalam wacana. Misalnya, dalam komunikasi antarbudaya, perbedaan dalam norma sosial dan sistem nilai dapat memengaruhi cara makna disampaikan dan dipahami. Oleh karena itu, analisis wacana tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor sosial dan budaya yang melatarbelakanginya.

Teori linguistik seperti semantik dan pragmatik juga memiliki kontribusi yang besar dalam analisis wacana. Semantik berfokus pada makna kata dan kalimat dalam wacana, sementara pragmatik mengkaji bagaimana makna dipahami dalam konteks komunikasi tertentu. Kombinasi kedua bidang ini membantu dalam memahami bagaimana wacana dapat memiliki makna yang beragam tergantung pada penggunaannya. Analisis wacana dan pengembangan makna memiliki aplikasi dalam berbagai bidang, termasuk media massa, pendidikan, politik, dan hukum. Dalam media massa, analisis wacana digunakan untuk mengidentifikasi bagaimana suatu berita atau pesan disusun untuk mempengaruhi opini publik. Dalam pendidikan, pemahaman wacana membantu dalam pengajaran bahasa dan literasi, terutama dalam mengembangkan keterampilan membaca kritis.

Dalam komunikasi, pendekatan analisis wacana digunakan untuk memahami bagaimana pesan disusun dalam berbagai konteks, seperti pidato politik, iklan, dan interaksi bisnis. Variasi bahasa dan gaya bahasa dalam suatu wacana juga memegang peranan penting dalam membentuk makna. Misalnya, pilihan kata, penggunaan metafora, serta intonasi dapat mengubah persepsi terhadap suatu pesan dan memengaruhi cara pesan tersebut diterima oleh audiens.

Pemahaman tentang pengembangan makna dalam wacana dapat meningkatkan keterampilan komunikasi, baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Dengan memahami bagaimana makna dikonstruksi dan dikomunikasikan, individu dapat menjadi komunikator yang lebih efektif dan kritis dalam menafsirkan informasi. Mengkaji wacana dari berbagai perspektif pendekatan menjadi penting karena setiap pendekatan menawarkan wawasan yang berbeda dalam memahami makna dalam komunikasi. Pendekatan struktural membantu dalam memahami pola bahasa, pendekatan fungsional menyoroti fungsi komunikasi, pendekatan kritis mengungkap aspek ideologi dalam wacana, dan pendekatan interaksional memberikan gambaran tentang dinamika komunikasi dalam interaksi sosial. Tujuan utama dari penelusuran pendekatan dan pengembangan makna dalam wacana adalah untuk memahami bagaimana karakteristik wacana memengaruhi penyampaian dan interpretasi makna. Dengan demikian, penelitian dalam bidang ini tidak hanya memberikan wawasan tentang bagaimana bahasa digunakan dalam berbagai konteks, tetapi juga membantu dalam meningkatkan efektivitas komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam esai ini, kita akan membahas berbagai pendekatan dalam analisis wacana serta bagaimana makna berkembang dalam sebuah wacana. Pendekatan dalam analisis wacana meliputi analisis formal, fungsional, kritis. Dengan memahami berbagai pendekatan ini, kita dapat lebih kritis dalam menelaah wacana yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari serta memahami bagaimana bahasa digunakan untuk menyampaikan ide, membentuk opini, atau bahkan menyembunyikan maksud tertentu. Keseluruhan pembahasan dalam esai ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai wacana serta bagaimana makna berkembang dalam suatu wacana. Dengan memahami konsep-konsep dasar serta pendekatan dalam analisis wacana, kita dapat lebih cermat dalam menginterpretasi dan menggunakan bahasa dalam berbagai konteks. Selain itu, pemahaman terhadap wacana juga memungkinkan kita untuk lebih kritis dalam menanggapi informasi yang kita terima, baik dari media, politik, pendidikan, maupun kehidupan sosial secara umum. Oleh karena itu, studi tentang wacana tidak hanya relevan dalam lingkup akademik, tetapi juga memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan sehari-hari.

Pembahasan

A.    Pendekatan dalam Analisis Wacana

Analisis wacana merupakan bidang kajian linguistik yang menelaah bagaimana bahasa digunakan dalam berbagai konteks komunikasi. Dalam kajiannya, terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami struktur, fungsi, serta dampak sosial dari wacana yang dihasilkan. Pendekatan utama dalam analisis wacana meliputi pendekatan formal, pendekatan fungsional, dan pendekatan kritis. Masing-masing pendekatan memiliki fokus dan metode analisis yang berbeda, yang membantu dalam memahami wacana dari berbagai perspektif. Menurut (Asher dan Simpson, 1994: 940) dalam (Mardikantoro & Haryadi, 2018) pendekatan dalam analisis wacana dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, di antaranya pendekatan formal, pendekatan fungsional, dan pendekatan kritis.

1.     Pendekatan Formal

Pendekatan formal ini berfokus pada struktur linguistik dalam wacana, seperti sintaksis, leksikon, dan kohesi. Dalam pendekatan ini, analisis dilakukan dengan melihat bagaimana unsur-unsur linguistik saling berhubungan untuk membentuk suatu makna yang koheren. Pendekatan ini menitikberatkan pada bagaimana unsur-unsur bahasa seperti kohesi dan koherensi membentuk wacana yang padu dan dapat dipahami oleh pembaca atau pendengar (Juliantari, 2017).

  • Kohesi merujuk pada keterpaduan unsur-unsur dalam wacana yang ditandai dengan penggunaan konjungsi, referensi, dan substitusi. Kohesi membantu menghubungkan kata, frasa, atau kalimat dalam sebuah teks sehingga menjadi lebih runtut dan mudah dipahami.
  • Koherensi berkaitan dengan hubungan makna yang logis antara bagian-bagian wacana. Meskipun sebuah teks memiliki kohesi yang baik, tanpa adanya koherensi, pesan yang disampaikan bisa menjadi sulit dimengerti.

Dalam pendekatan formal, analisis dilakukan dengan meneliti bagaimana elemen-elemen linguistik saling berhubungan dalam sebuah teks. Misalnya, dalam artikel berita, seorang analis wacana dapat mengamati bagaimana penulis menghubungkan satu paragraf dengan paragraf lainnya agar pembaca mendapatkan informasi secara sistematis dan logis. Selain itu, dalam teks akademik, penggunaan istilah teknis yang konsisten dan pola argumentasi yang jelas juga merupakan aspek yang dianalisis dalam pendekatan ini.

2.     Pendekatan Fungsional

Berbeda dengan pendekatan formal yang berfokus pada struktur bahasa, pendekatan ini lebih menekankan pada bagaimana bahasa digunakan dalam berbagai konteks untuk mencapai tujuan komunikasi tertentu. Pendekatan ini mengacu pada teori linguistik sistemik fungsional yang dikembangkan oleh Michael Halliday, yang menekankan bahwa bahasa memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual (Ma’shumah, 2021). Fungsi ideasional berhubungan dengan penyampaian informasi atau ide, fungsi interpersonal berkaitan dengan bagaimana bahasa digunakan untuk membangun hubungan antara pembicara dan pendengar, sementara fungsi tekstual berhubungan dengan bagaimana suatu teks atau wacana diatur agar mudah dipahami.

  • Fungsi bahasa dalam komunikasi menjadi fokus utama dalam pendekatan ini. Bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk membangun hubungan sosial, mempengaruhi orang lain, atau mengekspresikan sikap dan emosi.
  • Makna yang bergantung pada konteks menjadi aspek penting dalam analisis wacana fungsional. Misalnya, ungkapan "Silakan duduk" bisa bersifat netral dalam situasi formal, tetapi bisa bermakna sindiran dalam percakapan santai tergantung pada nada suara dan ekspresi wajah penutur.

Pendekatan fungsional sering diterapkan dalam berbagai bidang, seperti analisis iklan, pidato politik, dan interaksi di media sosial. Dalam analisis iklan, misalnya, pendekatan ini membantu memahami bagaimana bahasa digunakan untuk menarik perhatian, membujuk, atau membangun citra produk tertentu. Sementara itu, dalam pidato politik, pendekatan fungsional dapat digunakan untuk menelaah bagaimana pemimpin politik menggunakan bahasa untuk memobilisasi dukungan, mengkritik lawan, atau membangun identitas kelompok tertentu.

3.     Pendekatan Kritis

Pendekatan kritis dalam analisis wacana bertujuan untuk mengungkap makna tersembunyi dalam wacana dengan mempertimbangkan faktor ideologi dan kekuasaan. Pendekatan ini melihat bahwa wacana tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai instrumen untuk membentuk opini, mempertahankan dominasi, atau menantang struktur sosial yang ada (Setiawan, 2014).

  • Wacana sebagai alat kekuasaan menjadi fokus utama dalam pendekatan ini. Bahasa digunakan tidak hanya untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk membentuk cara berpikir masyarakat dan mengarahkan opini publik.
  • Analisis terhadap bias dalam wacana juga menjadi bagian penting dalam pendekatan ini. Dalam pemberitaan media, misalnya, pemilihan kata dan cara penyajian suatu peristiwa dapat menunjukkan bias tertentu yang menguntungkan atau merugikan pihak tertentu.

Tokoh utama dalam pendekatan ini adalah Teun A. van Dijk, yang menekankan bahwa analisis wacana tidak hanya melihat teks, tetapi juga konteks sosial dan politik di baliknya. Van Dijk mengembangkan teori bahwa wacana memiliki struktur yang mencerminkan ideologi tertentu, yang dapat mempengaruhi cara masyarakat memahami suatu isu. Pendekatan ini sering diterapkan dalam analisis media, politik, dan kebijakan publik untuk membongkar bagaimana bahasa digunakan untuk membangun atau mempertahankan dominasi sosial (Islamiyah & Hermaliza, 2024).

Sebagai contoh, dalam analisis berita tentang konflik sosial, pendekatan kritis dapat mengungkap bagaimana kelompok tertentu digambarkan dalam wacana media. Misalnya, penggunaan kata "demonstran" versus "perusuh" dalam peliputan aksi protes dapat mencerminkan sikap dan posisi media terhadap kelompok tersebut. Pendekatan ini juga dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana wacana gender, ras, atau kelas sosial direpresentasikan dalam berbagai bentuk komunikasi publik.

Analisis wacana merupakan bidang studi yang luas dan kompleks, dengan berbagai pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi dalam komunikasi. Pendekatan formal membantu memahami struktur wacana melalui analisis kohesi dan koherensi. Pendekatan fungsional berfokus pada bagaimana bahasa digunakan dalam konteks komunikasi untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu, pendekatan kritis mengungkap bagaimana bahasa dapat digunakan sebagai alat kekuasaan untuk membentuk opini dan mempertahankan dominasi sosial.

Dengan memahami ketiga pendekatan ini, kita dapat lebih kritis dalam menafsirkan teks dan wacana yang kita temui sehari-hari. Pendekatan formal membantu kita mengenali struktur dan pola dalam teks, pendekatan fungsional membantu memahami bagaimana bahasa berfungsi dalam komunikasi sosial, dan pendekatan kritis memungkinkan kita untuk menyadari bagaimana wacana dapat digunakan untuk membentuk opini dan ideologi dalam masyarakat. Dengan demikian, analisis wacana tidak hanya menjadi alat akademik, tetapi juga keterampilan penting dalam memahami dunia yang semakin dipenuhi oleh informasi dan komunikasi berbasis teks.

B.    Pengembangan Makna dalam Wacana

Dalam komunikasi, makna dalam wacana tidak bersifat tetap melainkan berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pengembangan makna dalam wacana bisa terjadi karena berbagai hal, termasuk faktor kontekstual, polisemi dan ambiguitas, penggunaan metafora dan makna kiasan, serta intertekstualitas. Pemahaman mengenai pengaruh masing-masing aspek ini sangat penting untuk menganalisis bagaimana makna terbentuk dan berkembang dalam komunikasi lisan maupun tulisan.

Faktor Kontekstual dalam Pengembangan Makna

Faktor kontekstual memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana suatu wacana dipahami. Konteks dapat mencakup situasi komunikasi, tujuan komunikasi, dan relasi sosial antara partisipan dalam percakapan atau teks.

1.     Situasi Komunikasi Situasi komunikasi meliputi latar tempat, waktu, dan kondisi di mana suatu wacana diproduksi dan diterima. Misalnya, kalimat "Hujan deras sekali" akan memiliki makna yang berbeda tergantung pada situasi komunikasi. Jika diucapkan oleh seseorang yang sedang berada di luar rumah tanpa payung, pernyataan ini bisa berarti keluhan. Namun, jika diucapkan oleh seorang petani yang menunggu hujan untuk menyuburkan sawahnya, pernyataan ini mungkin mengandung nada kegembiraan.

2.     Tujuan Komunikasi Tujuan komunikasi juga mempengaruhi makna dalam wacana. Seseorang yang berbicara dengan tujuan meyakinkan, menghibur, atau memberi perintah akan memilih kata dan struktur yang berbeda. Sebagai contoh, pernyataan "Besok kita harus kerja keras" mungkin bermakna sebagai dorongan semangat jika diucapkan oleh seorang pemimpin tim, tetapi bisa juga bermakna sebagai peringatan jika diucapkan oleh atasan yang menegur bawahannya.

3.     Relasi Sosial Hubungan antara pembicara dan pendengar juga membentuk makna dalam wacana. Misalnya, ungkapan "Kamu ini benar-benar keterlaluan!" dapat memiliki makna berbeda jika diucapkan dalam konteks bercanda antara sahabat dibandingkan jika diucapkan oleh atasan kepada bawahannya dalam lingkungan kerja. Faktor-faktor seperti hierarki sosial, kedekatan emosional, dan norma budaya turut mempengaruhi bagaimana suatu wacana dipahami.

Polisemi dan Ambiguitas dalam Wacana

Polisemi dan ambiguitas sering menjadi faktor utama dalam pengembangan makna dalam wacana. Kata atau frasa yang memiliki banyak makna dapat memberikan fleksibilitas dalam interpretasi, tetapi juga bisa menyebabkan kebingungan jika tidak ada kejelasan konteks.

1.     Polisemi (banyak makna) mengacu pada fenomena ketika satu kata memiliki lebih dari satu makna yang terkait (Anisah, 2016) . Contoh kata "kepala" dapat memiliki berbagai makna tergantung pada konteks penggunaannya:

·       "Kepala sekolah memberikan pengumuman." (kepala = pemimpin)

·       "Dia mengalami luka di kepala." (kepala = bagian tubuh)

·       "Kepala surat harus dicetak tebal." (kepala = bagian awal surat)

Dalam wacana, makna kata yang dipilih bergantung pada konteks yang mengelilinginya.

2.     Ambiguitas muncul ketika suatu kata, frasa, atau kalimat memiliki lebih dari satu kemungkinan makna (Bustam, 2020). Ambiguitas dapat terjadi pada tingkat leksikal (kata) maupun sintaksis (struktur kalimat). Contoh ambiguitas:

·       "Anak perempuan Pak Budi sangat pandai."

§  Bisa berarti anak perempuan Pak Budi yang sangat pandai.

§  Bisa juga berarti Pak Budi adalah seorang anak perempuan yang pandai.

Ambiguitas sering kali dimanfaatkan dalam wacana sastra atau humor untuk menciptakan efek tertentu, tetapi juga bisa menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan dengan baik.

Metafora dan Makna Kiasan dalam Wacana

Metafora dan makna kiasan juga berperan dalam pengembangan makna dalam wacana. Penggunaan gaya bahasa seperti metafora, simile, dan personifikasi dapat memperkaya wacana dengan cara memberikan makna yang lebih dalam atau simbolis.

1.     Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berbeda tanpa menggunakan kata penghubung seperti "seperti" atau "bagaikan" (Lahay, 2022). Contoh penggunaan metafora dalam wacana:

·       "Hidup ini adalah panggung sandiwara."

·       "Dia adalah bintang di timnya."

Dalam contoh tersebut, kehidupan dibandingkan dengan panggung sandiwara, dan seseorang dibandingkan dengan bintang untuk menggambarkan perannya yang menonjol dalam tim. Metafora memungkinkan bahasa menjadi lebih ekspresif dan menciptakan pemahaman yang lebih mendalam.

2.     Makna Kiasan Makna kiasan sering digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk menyampaikan pesan secara tidak langsung. Kiasan  atau  disebut  juga  gaya  bahasa, merupakan   suatu   bentuk   penggunaan   bahasa dalam  bentuk  perbandingan  atau  perumpamaan (Sardani & Indriani, 2018). Misalnya:

·       "Dia memiliki tangan dingin dalam bisnis." (Maknanya bukan secara harfiah tangannya dingin, tetapi dia ahli dalam bisnis.)

·       "Perjalanan hidupnya penuh dengan liku-liku." (Maknanya bukan jalannya benar-benar berliku, tetapi hidupnya penuh tantangan.)

Makna kiasan ini berfungsi untuk memperkaya wacana dan memberikan efek estetis atau emosional dalam komunikasi.

Intertekstualitas dan Pengayaan Makna dalam Wacana

Intertekstualitas adalah proses di mana suatu wacana merujuk atau berkaitan dengan wacana lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam banyak kasus, makna dalam wacana berkembang karena adanya hubungan dengan teks-teks lain yang telah ada sebelumnya.

1.     Referensi terhadap Teks Lain Intertekstualitas sering terjadi ketika suatu teks mengutip, menyindir, atau mengadaptasi elemen dari teks lain. Contohnya:

·       Dalam sastra, novel Perahu Kertas karya Dee Lestari dapat memiliki makna lebih dalam jika pembaca memahami referensinya terhadap karya sastra dan budaya populer lainnya.

·       Dalam film, banyak karya modern yang merujuk pada mitologi atau cerita klasik, seperti film The Lion King yang memiliki kemiripan dengan Hamlet karya Shakespeare.

Intertekstualitas memperkaya makna wacana karena pembaca atau pendengar yang memahami referensi tersebut dapat menangkap makna tambahan yang tidak eksplisit dalam teks itu sendiri. Intertekstualitas dapat dirumuskan secara sederhana sebagai hubungan antara sebuah teks tertentu dengan teks-teks lain (Garwan, 2020).

2.     Pemakaian Idiom dan Ungkapan Budaya Ungkapan-ungkapan tertentu dalam suatu budaya bisa menjadi bentuk intertekstualitas karena maknanya telah dikonstruksi melalui sejarah dan kebiasaan. Contoh:

·       "Seperti katak dalam tempurung." (merujuk pada seseorang yang memiliki wawasan sempit)

·       "Makan waktu" (berarti memakan banyak waktu, bukan secara harfiah memakan sesuatu)

Karena banyak ungkapan ini berasal dari tradisi atau karya sastra terdahulu, pemahamannya sering kali memerlukan pengetahuan budaya dan sejarah.

Pengembangan makna dalam wacana terjadi karena berbagai faktor, termasuk konteks komunikasi, fenomena polisemi dan ambiguitas, penggunaan metafora dan makna kiasan, serta intertekstualitas. Faktor-faktor ini membentuk bagaimana suatu pesan dipahami dan ditafsirkan oleh pembaca atau pendengar. Oleh karena itu, memahami dinamika pengembangan makna dalam wacana sangat penting dalam komunikasi, baik dalam lingkup akademik, sastra, maupun percakapan sehari-hari. Dengan memahami bagaimana makna berkembang, kita dapat berkomunikasi dengan lebih efektif dan menghindari kesalahpahaman dalam interaksi sosial.

Karakteristik Wacana dalam Pengembangan Makna

Wacana Lisan dan Wacana Tertulis

Wacana dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk utama, yaitu wacana lisan dan wacana tertulis. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal penyampaian, struktur, serta pengembangan makna. Wacana lisan bersifat spontan dan cenderung lebih fleksibel dibandingkan dengan wacana tertulis. Dalam percakapan, makna dapat dikembangkan melalui intonasi, gestur, ekspresi wajah, serta konteks situasional. Sebagai contoh, dalam komunikasi verbal, seseorang dapat mengulang kata, menggunakan jeda, atau memberikan penekanan tertentu untuk memperjelas maksudnya. Selain itu, wacana lisan juga sering kali melibatkan interaksi dua arah yang memungkinkan makna berkembang secara dinamis. Seorang pembicara dapat menyesuaikan pesan mereka berdasarkan respons dari pendengar, memperjelas makna melalui tanya jawab, atau bahkan mengoreksi ucapan mereka jika terjadi kesalahpahaman. Oleh karena itu, wacana lisan bersifat lebih adaptif dan dapat mengalami perubahan seiring berlangsungnya percakapan (Muis, 2014).

Sebaliknya, wacana tertulis lebih terstruktur dan memiliki sifat permanen. Penulis harus merencanakan isi wacana secara lebih sistematis untuk memastikan makna dapat tersampaikan dengan jelas kepada pembaca. Dalam teks tertulis, tidak ada bantuan berupa intonasi atau gestur, sehingga makna dikembangkan melalui penggunaan tanda baca, pemilihan kata, serta struktur kalimat yang baik. Sebagai contoh, dalam esai akademik atau laporan resmi, penyampaian makna harus logis dan koheren, serta mengacu pada kaidah kebahasaan yang telah ditentukan. Perbedaan lainnya adalah dalam wacana tertulis, pembaca tidak dapat secara langsung mengajukan pertanyaan atau meminta klarifikasi kepada penulis (Rohana & Syamsuddin, 2015). Oleh karena itu, penggunaan bahasa yang eksplisit dan sistematis menjadi sangat penting dalam mengembangkan makna.

Dari segi kohesi dan koherensi, wacana tertulis cenderung lebih terstruktur dengan penggunaan konjungsi, referensi, dan pengulangan kata yang disengaja untuk mempertahankan kesinambungan ide. Sementara itu, dalam wacana lisan, kesinambungan dapat didukung oleh faktor non-verbal serta keterlibatan langsung antara pembicara dan pendengar. Oleh karena itu, meskipun kedua bentuk wacana ini memiliki tujuan yang sama dalam menyampaikan makna, cara pengembangannya sangat bergantung pada mediumnya.

Wacana Formal dan Informal

Selain perbedaan antara wacana lisan dan tertulis, wacana juga dapat dibedakan berdasarkan tingkat formalitasnya, yaitu wacana formal dan informal. Karakteristik kedua jenis wacana ini sangat menentukan bagaimana makna dikembangkan serta bagaimana pesan disampaikan. Wacana formal biasanya digunakan dalam situasi resmi seperti pidato kenegaraan, laporan akademik, dokumen hukum, atau pertemuan bisnis. Karakteristik utama dari wacana formal adalah penggunaan bahasa yang baku, struktur yang sistematis, serta minimnya penggunaan unsur emosional atau subjektivitas. Dalam pengembangan makna, wacana formal mengandalkan ketepatan diksi, logika yang terstruktur, serta penggunaan istilah teknis yang sesuai dengan konteksnya. Sebagai contoh, dalam makalah ilmiah, penulis harus memastikan bahwa setiap argumen yang disampaikan didukung oleh data atau referensi yang valid agar makna yang dihasilkan bersifat objektif dan dapat dipahami secara universal.

Sebaliknya, wacana informal bersifat lebih santai dan sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari, seperti percakapan dengan teman, chat di media sosial, atau pesan singkat. Wacana ini lebih fleksibel dalam pemilihan kata dan struktur kalimat. Penggunaan idiom, slang, serta bahasa non-baku sering kali ditemukan dalam wacana informal. Karena lebih bersifat pribadi dan kontekstual, pengembangan makna dalam wacana informal sering kali bergantung pada pengalaman bersama atau latar belakang budaya dari para peserta komunikasi. Misalnya, dalam percakapan antara teman dekat, makna dapat tersampaikan dengan baik meskipun kalimat yang digunakan tidak selalu lengkap atau gramatikal, karena adanya pemahaman kontekstual yang sama.

Selain itu, dalam wacana informal, ekspresi dan emosi memiliki peran yang lebih besar dalam membentuk makna. Seorang pembicara dapat menggunakan nada suara, penekanan kata, atau bahkan humor untuk menambah makna tertentu dalam percakapan. Hal ini berbeda dengan wacana formal, di mana bahasa harus tetap netral dan profesional. Oleh karena itu, pemilihan jenis wacana yang tepat sangat bergantung pada tujuan komunikasi serta audiens yang dituju.

Wacana Akademik, Jurnalistik, dan Media Sosial

Dalam konteks yang lebih spesifik, wacana juga dapat diklasifikasikan berdasarkan bidang atau media yang digunakan, seperti wacana akademik, jurnalistik, dan media sosial. Setiap jenis wacana ini memiliki karakteristik unik dalam pengembangan makna.

1. Wacana Akademik

Wacana akademik digunakan dalam lingkungan pendidikan dan penelitian, seperti dalam jurnal ilmiah, skripsi, disertasi, atau makalah konferensi. Ciri utama wacana akademik adalah penggunaan bahasa yang formal, objektif, serta berbasis bukti. Dalam pengembangan maknanya, wacana akademik menuntut adanya argumen yang logis, data yang valid, serta penggunaan teori yang relevan. Struktur tulisan akademik umumnya mencakup pendahuluan, tinjauan pustaka, metode, hasil, dan pembahasan, yang semuanya berfungsi untuk memastikan bahwa makna yang disampaikan jelas dan sistematis.

2. Wacana Jurnalistik

Berbeda dengan wacana akademik, wacana jurnalistik lebih berorientasi pada penyampaian informasi kepada khalayak umum. Contohnya adalah berita, artikel opini, dan laporan investigasi. Wacana jurnalistik memiliki karakteristik yang lebih ringkas dan langsung pada inti permasalahan. Dalam pengembangan maknanya, wacana jurnalistik menggunakan teknik seperti piramida terbalik, di mana informasi paling penting diletakkan di awal, diikuti dengan detail tambahan. Selain itu, bahasa yang digunakan cenderung lebih mudah dipahami oleh berbagai kalangan agar informasi dapat tersampaikan dengan efektif.

3. Wacana Media Sosial

Wacana media sosial memiliki karakteristik yang paling dinamis dibandingkan dua jenis wacana sebelumnya. Dalam media sosial seperti Twitter, Facebook, atau Instagram, pengembangan makna sangat dipengaruhi oleh format platform serta interaksi pengguna. Penggunaan emoji, hashtag, serta gaya bahasa yang lebih santai membuat wacana media sosial menjadi lebih fleksibel. Namun, karena keterbatasan karakter dalam beberapa platform, makna dalam wacana media sosial sering kali berkembang melalui konteks tambahan, seperti komentar, tanggapan dari pengguna lain, atau penggunaan meme dan gambar. Selain itu, sifat viral dari media sosial memungkinkan suatu wacana berkembang secara cepat dengan berbagai interpretasi yang dapat memengaruhi maknanya.

Karakteristik wacana sangat berpengaruh terhadap cara makna dikembangkan dan disampaikan. Wacana lisan lebih fleksibel dan interaktif, sedangkan wacana tertulis lebih terstruktur dan permanen. Sementara itu, perbedaan antara wacana formal dan informal menunjukkan bagaimana tingkat keseriusan dan tujuan komunikasi memengaruhi pemilihan bahasa dan strategi pengembangan makna. Dalam bidang tertentu, seperti akademik, jurnalistik, dan media sosial, wacana memiliki ciri khas tersendiri yang menentukan bagaimana informasi dan makna diproses serta diterima oleh audiens. Pemahaman terhadap berbagai karakteristik wacana ini sangat penting dalam meningkatkan efektivitas komunikasi dalam berbagai situasi dan konteks.

Studi Kasus dan Contoh Analisis Wacana

1. Analisis Wacana Berita

Studi Kasus: Artikel Berita tentang Isu Sosial

Dalam dunia jurnalistik, pemilihan kata dan struktur berita sangat menentukan bagaimana suatu peristiwa dipahami oleh masyarakat. Misalnya, dalam pemberitaan tentang demonstrasi, penggunaan kata "aksi damai" dan "kerusuhan" menghasilkan makna yang berbeda, meskipun peristiwa yang dilaporkan sama. Pemilihan diksi dalam berita tidak hanya berfungsi untuk mendeskripsikan peristiwa, tetapi juga dapat membentuk opini publik terhadapnya. Jika sebuah media menggunakan frasa seperti "ribuan warga menggelar aksi damai menuntut keadilan", maka berita tersebut cenderung memberikan kesan positif dan menekankan hak demokrasi masyarakat. Sebaliknya, jika media lain melaporkan peristiwa yang sama dengan judul "Demonstrasi Berujung Chaos, Polisi Terpaksa Menindak", maka wacana yang dibangun mengarah pada citra negatif terhadap demonstrasi tersebut.

Struktur berita juga mempengaruhi bagaimana makna dikembangkan. Dalam teks berita, bagian judul dan lead (paragraf pembuka) memiliki peran besar dalam membentuk pemahaman awal pembaca. Jika sebuah berita menyoroti tuntutan demonstran dalam lead-nya, maka pembaca akan lebih fokus pada substansi protes yang dilakukan. Namun, jika lead berita lebih menonjolkan bentrokan dengan aparat atau kerusuhan yang terjadi, maka makna yang terbentuk dalam benak pembaca cenderung mengarah pada aspek keamanan dan ketertiban. Oleh karena itu, media memiliki peran strategis dalam membangun wacana tertentu melalui pemilihan kata dan struktur narasi yang digunakan.

2. Analisis Wacana Pidato

Studi Kasus: Pidato Pemimpin Negara dalam Krisis Nasional

Pidato merupakan salah satu bentuk wacana lisan yang memiliki kekuatan dalam membentuk persepsi publik dan mengarahkan opini masyarakat. Dalam situasi krisis nasional, pemimpin negara biasanya menyampaikan pidato yang bertujuan untuk menenangkan masyarakat dan membangun solidaritas. Analisis terhadap wacana dalam pidato dapat dilihat melalui penggunaan retorika, pilihan kata, serta bagaimana pemimpin menyusun narasi untuk menciptakan efek tertentu.

Sebagai contoh, dalam pidato yang disampaikan saat menghadapi krisis, seorang pemimpin mungkin menggunakan kalimat seperti "Kita akan bangkit bersama. Krisis ini bukan akhir, tetapi awal dari perubahan besar." Kalimat ini mengandung beberapa elemen retoris yang kuat. Pertama, penggunaan kata "kita" menunjukkan strategi inklusivitas, di mana pemimpin ingin membangun rasa persatuan dengan rakyatnya. Kedua, frase "bangkit bersama" berfungsi untuk memberikan harapan, sedangkan penggunaan diksi "awal dari perubahan besar" memberikan makna optimisme terhadap masa depan.

Selain itu, pemilihan metafora dalam pidato juga memainkan peran penting dalam pengembangan makna. Dalam pidato krisis, pemimpin sering kali menggunakan metafora seperti "badai akan berlalu" atau "terowongan gelap yang akan berujung pada cahaya". Metafora ini membantu mengubah persepsi negatif menjadi sesuatu yang lebih positif, sehingga masyarakat lebih mudah menerima pesan yang ingin disampaikan. Dengan demikian, wacana pidato tidak hanya bersifat informatif tetapi juga persuasif, karena dapat membangun semangat dan membentuk persepsi publik secara lebih terarah.

3. Analisis Wacana Media Sosial

Studi Kasus: Hashtag di Twitter Seputar Isu Politik

Dalam era digital, media sosial menjadi ruang utama bagi pembentukan wacana publik. Salah satu elemen penting dalam wacana digital adalah penggunaan hashtag, yang berfungsi untuk mengorganisir diskusi dan menyebarluaskan pesan dalam lingkup yang lebih luas. Hashtag tidak hanya sekadar penanda topik, tetapi juga memiliki potensi untuk membentuk makna baru dan memengaruhi opini publik.

Sebagai contoh, hashtag #SaveOurEarth awalnya digunakan sebagai kampanye lingkungan untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu perubahan iklim. Namun, seiring waktu, makna hashtag ini berkembang menjadi simbol protes terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merusak lingkungan, seperti penggundulan hutan atau pembangunan industri yang mengancam ekosistem. Dalam kasus ini, makna yang berkembang dalam wacana media sosial sangat dipengaruhi oleh interaksi pengguna. Komentar, retweet, dan meme yang dibuat oleh netizen dapat mengubah persepsi awal terhadap suatu isu dan memperluas cakupan maknanya.

Selain itu, media sosial juga memiliki sifat dinamis yang memungkinkan wacana berkembang dengan cepat. Jika sebuah hashtag menjadi viral, maka makna yang melekat pada tagar tersebut bisa berkembang melalui berbagai interpretasi pengguna. Contohnya, sebuah hashtag yang awalnya netral bisa berubah menjadi alat propaganda politik atau menjadi bagian dari kampanye sosial yang lebih luas. Dengan demikian, analisis wacana di media sosial tidak hanya menyoroti teks yang digunakan, tetapi juga bagaimana teks tersebut berkembang melalui partisipasi pengguna secara aktif.

4. Analisis Wacana Sastra

Studi Kasus: Novel 1984 oleh George Orwell

Dalam dunia sastra, wacana sering kali digunakan untuk merepresentasikan ideologi dan kritik sosial terhadap kondisi masyarakat. Novel 1984 karya George Orwell adalah salah satu contoh yang menunjukkan bagaimana bahasa dan wacana dapat digunakan untuk membentuk realitas sosial. Dalam novel ini, Orwell menciptakan konsep-konsep seperti Big Brother, doublethink, dan newspeak, yang kini telah menjadi bagian dari bahasa sehari-hari dan digunakan untuk menggambarkan kontrol pemerintah terhadap informasi dan kebebasan berpikir.

Analisis terhadap wacana dalam novel ini dapat dilakukan dengan pendekatan kritis, yang melihat bagaimana makna dikonstruksi untuk mengkritik kekuasaan. Salah satu contoh dalam novel adalah slogan "War is peace. Freedom is slavery. Ignorance is strength." Kalimat ini mencerminkan bagaimana bahasa dapat dimanipulasi oleh pihak berkuasa untuk mengontrol pemikiran masyarakat. Konsep doublethink, yaitu kemampuan untuk menerima dua pemikiran yang bertentangan secara bersamaan, menunjukkan bagaimana wacana dapat digunakan untuk mengendalikan kebenaran dan membentuk ideologi tertentu (Arsiladeva et al., 2023).

Selain itu, novel ini juga menggambarkan bagaimana kontrol terhadap bahasa dapat memengaruhi makna yang dikembangkan dalam masyarakat. Dalam 1984, pemerintah menciptakan bahasa newspeak untuk menggantikan bahasa lama dan menghilangkan kata-kata yang dapat memicu pemikiran kritis. Ini menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga alat kekuasaan yang dapat membentuk realitas sosial. Dengan demikian, wacana dalam sastra memiliki peran penting dalam mengkritik struktur sosial dan memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana makna berkembang dalam masyarakat.

Dari berbagai studi kasus di atas, dapat dilihat bahwa pengembangan makna dalam wacana sangat dipengaruhi oleh konteks, struktur bahasa, dan interaksi sosial. Dalam berita, pemilihan kata dan struktur narasi dapat membentuk sudut pandang tertentu terhadap suatu peristiwa. Dalam pidato, strategi retoris digunakan untuk membangun emosi dan memengaruhi audiens. Media sosial memungkinkan makna berkembang secara dinamis melalui partisipasi pengguna, sementara sastra mencerminkan bagaimana wacana dapat merepresentasikan dan mengkritik realitas sosial. Dengan memahami bagaimana wacana dikonstruksi dalam berbagai konteks, kita dapat lebih kritis dalam menafsirkan pesan yang disampaikan melalui berbagai bentuk komunikasi.

Implikasi Wacana dalam Kehidupan Sehari-hari

Pemahaman tentang pendekatan dan pengembangan makna dalam wacana sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari. Dalam era digital saat ini, kita dibanjiri oleh berbagai jenis wacana, baik dalam bentuk berita, opini di media sosial, maupun iklan. Kemampuan untuk menganalisis wacana secara kritis dapat membantu kita memilah informasi yang valid dan menghindari manipulasi bahasa.

Berikut adalah beberapa poin penting terkait implikasi wacana dalam kehidupan sehari-hari:

1)     Analisis Media dan Berita

Salah satu contoh penerapan analisis wacana adalah dalam mengidentifikasi bias dalam pemberitaan media. Berbagai media sering kali memiliki agenda atau sudut pandang tertentu yang dapat memengaruhi cara informasi disajikan. Dengan memahami bagaimana bahasa digunakan untuk membangun narasi tertentu, kita dapat mengembangkan pemahaman yang lebih objektif terhadap berita yang kita konsumsi. Hal ini juga membantu kita dalam menghindari penyebaran informasi yang tidak akurat atau hoaks.

2)     Debat Publik dan Isu Sosial

Dalam debat publik mengenai isu sosial, cara seseorang menyampaikan argumen dapat memengaruhi cara kita menafsirkannya. Pemahaman tentang implikatur dan presuposisi memungkinkan kita untuk lebih peka terhadap makna tersirat dalam komunikasi politik atau media massa. Misalnya, seorang politisi mungkin menggunakan kata-kata tertentu yang mengandung asumsi tersembunyi untuk membentuk opini publik tanpa menyatakan sesuatu secara eksplisit. Kesadaran terhadap teknik ini dapat membantu kita menilai argumen secara lebih kritis.

3)     Komunikasi dalam Dunia Kerja

Dalam dunia kerja, keterampilan dalam memahami dan menyusun wacana yang efektif sangat berharga. Baik dalam presentasi bisnis, laporan, maupun komunikasi dengan klien, kemampuan menyusun wacana yang kohesif dan koheren dapat meningkatkan efektivitas komunikasi. Misalnya, dalam negosiasi bisnis, cara penyampaian informasi dapat memengaruhi keputusan yang diambil oleh pihak lain. Dengan memahami cara menyusun pesan yang persuasif dan logis, seseorang dapat meningkatkan peluang keberhasilan dalam komunikasi bisnis.

4)     Pentingnya Wacana dalam Akademik

Pada lingkungan akademik, kemampuan menganalisis dan mengembangkan makna dalam wacana juga sangat penting. Mahasiswa dan peneliti harus mampu menyusun argumen yang kuat dan mendukungnya dengan bukti yang relevan. Selain itu, mereka juga perlu memahami bagaimana wacana dalam literatur ilmiah dibangun agar dapat berkontribusi secara efektif dalam diskusi akademik. Dengan demikian, keterampilan ini berperan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

5)     Interaksi Sosial Sehari-hari

Dalam kehidupan sosial sehari-hari, pemahaman terhadap wacana membantu kita berinteraksi dengan lebih efektif. Misalnya, dalam komunikasi interpersonal, memahami makna tersirat dalam percakapan dapat membantu kita merespons dengan lebih tepat. Selain itu, kemampuan untuk menyusun wacana yang jelas dan meyakinkan dapat meningkatkan kepercayaan diri dalam berbicara di depan umum atau dalam situasi sosial lainnya.

6)     Pengaruh Media Sosial

Di era digital, media sosial menjadi salah satu platform utama di mana wacana berkembang dengan sangat cepat. Setiap orang dapat dengan mudah menyebarkan opini dan informasi melalui berbagai kanal digital. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memiliki keterampilan literasi digital yang baik agar tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang menyesatkan. Kemampuan untuk mengidentifikasi teknik persuasi dan propaganda dalam media sosial dapat membantu kita menjadi pengguna internet yang lebih kritis dan bertanggung jawab.

7)     Pendidikan dan Pengajaran

Selain dalam konteks individu, pemahaman tentang wacana juga memiliki implikasi dalam bidang pendidikan. Guru dan pendidik dapat menggunakan strategi komunikasi yang lebih efektif dalam menyampaikan materi kepada siswa. Dengan menyusun wacana yang menarik dan mudah dipahami, mereka dapat meningkatkan pemahaman dan minat belajar siswa. Selain itu, siswa juga dapat diajarkan keterampilan analisis wacana agar mereka dapat mengembangkan pemikiran kritis sejak dini.

8)     Wacana dalam Dunia Hukum

Dalam dunia hukum, analisis wacana digunakan untuk menafsirkan undang-undang dan dokumen hukum lainnya. Pengacara dan hakim sering kali harus memahami bagaimana bahasa dalam dokumen hukum dapat mempengaruhi interpretasi suatu kasus. Dengan memahami teknik retorika dan struktur wacana hukum, mereka dapat menyusun argumen yang lebih meyakinkan di pengadilan.

Secara keseluruhan, pemahaman tentang pendekatan dan pengembangan makna dalam wacana memiliki banyak manfaat dalam berbagai aspek kehidupan. Dari analisis media hingga komunikasi bisnis, dari interaksi sosial hingga pendidikan, keterampilan ini membantu kita menjadi individu yang lebih kritis, komunikatif, dan efektif dalam menyampaikan serta memahami informasi. Dengan meningkatkan kesadaran terhadap bagaimana wacana dibangun dan digunakan, kita dapat lebih bijak dalam menanggapi berbagai informasi yang kita temui sehari-hari.

Kesimpulan

Pendekatan dalam analisis wacana memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai bagaimana makna dikonstruksi dan dikembangkan dalam komunikasi. Pendekatan formal melihat aspek struktural, pendekatan fungsional menyoroti penggunaan bahasa dalam konteks sosial, dan pendekatan kritis meneliti aspek ideologi dalam wacana. Sementara itu, pengembangan makna dalam wacana terjadi melalui mekanisme implikatur, presuposisi, dan intertekstualitas. Dengan memahami karakteristik wacana, kita dapat lebih bijak dalam menafsirkan dan menggunakan bahasa dalam berbagai konteks komunikasi. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, kesadaran akan bagaimana wacana bekerja tidak hanya berguna untuk memahami pesan yang kita terima, tetapi juga untuk memastikan bahwa kita dapat berkomunikasi secara efektif dan etis dalam berbagai situasi.

Daftar Pusataka

Anisah, Z. (2016). Polisemi pada Wacana Humor Indonesia Lawak Klub. AL HIKMAH Jurnal Studi Keislaman, 6(2), 152–167.

Arsiladeva, D. P., Zahra, S. F., & Nurholis, N. (2023). Bentuk dan Struktur Novel 1984 Karya Orwell, G. Argopuro: Jurnal Multidisiplin Ilmu Bahasa, 1(4), 1–14. https://ejournal.warunayama.org/index.php/argopuro/article/view/1107

Bustam, M. R. (2020). Ambiguitas struktural pada heading portal berita The Jakarta Post dalam pemberitaan Pemilihan Gubernur Jawa Barat. Diglossia, 11(2), 55–67.

Garwan, M. S. (2020). Analisis Semiotika pada Teks Al- Qur ’an Tentang Intertekstualitas Julia Kristeva. Substantia, 22(April), 49–60.

Islamiyah, H. Y., & Hermaliza, H. (2024). Teun a Van Dijk’S Critical Discourse Analysis on Kompas.Com News. Language Literacy: Journal of Linguistics, Literature, and Language Teaching, 8(1), 463–476. https://doi.org/10.30743/ll.v8i1.9280

Juliantari, N. K. (2017). Paradigma Analisis Wacana dalam Memahami Teks dan Konteks untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman. Acarya Pustaka, 3(1), 12. https://doi.org/10.23887/ap.v3i1.12732

Lahay, S. J. (2022). Metafora dalam Kajian Linguistik, Sastra dan Terjemahan: Sebuah Pengantar. Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra Dan Budaya, 9(1), 83–95. https://doi.org/10.33541/dia.v9i1.4026

Ma’shumah, N. K. (2021). Konstruksi Ideologi Pemerintah atas Praktik Radikalisme, Anarkisme dan Intoleran oleh Ormas: Sebuah Pendekatan Tekstual dan Kritis. Mimesis, 2(1), 1. https://doi.org/10.12928/mms.v2i1.3455

Mardikantoro, H. B., & Haryadi, M. (2018). Corruption in Media Construction: Superstructure Analysis of Corruption News Texts in Indonesian National Private Television. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 247(ISET 18), 200–204. https://doi.org/10.2991/iset-18.2018.42

Muis, S. F. (2014). Analisis Wacana dalam Bahasa Indonesia. Shautut Tarbiyah, 31, 111–125.

Rohana, R., & Syamsuddin, S. (2015). Analisis Wacana (1st ed.). CV. Samudra Alif-MIM. http://eprints.unm.ac.id/19564/

Sardani, R., & Indriani, S. (2018). Analisis Gaya Bahasa Kiasan dalam Berita Industri pada Media Digital Republika dan Media Indonesia. Jurnal Basis, 5(1), 55–64.

Setiawan, T. (2014). Ancangan Awal Praktik Analisis Wacana Kritis. Diksi, 2(22), 111–120. https://doi.org/10.21831/diksi.v2i22.3170

Wiyanti, E. (2016). Kajian Kohesi Gramatikal Substitusi Dan Elipsis Dalam Novel “Laskar Pelangi” Karya Andrea Hirata. Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra, 16(2), 188. https://doi.org/10.17509/bs_jpbsp.v16i2.4481

 

Komentar