Menelusuri Pendekatan dan Pengembangan Makna dalam Wacana Berdasarkan Karakteristiknya
Menelusuri Pendekatan dan Pengembangan Makna dalam
Wacana Berdasarkan Karakteristiknya
Mukminati
Zulfa
Magister
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Pascasarjana,
Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia Semarang
Pendahuluan
Dalam
kajian linguistik, wacana merujuk pada penggunaan bahasa dalam konteks
komunikasi, baik lisan maupun tulisan, yang melampaui batasan kalimat tunggal.
Wacana mencakup struktur linguistik yang lebih luas dan memiliki hubungan
dengan aspek sosial, budaya, serta kognitif. Dengan demikian, wacana tidak
hanya dipahami sebagai rangkaian kata atau kalimat, tetapi juga sebagai suatu
unit komunikasi yang memiliki makna dalam konteks tertentu. Memahami pendekatan
dalam analisis wacana menjadi penting karena setiap wacana mengandung makna
yang dapat bervariasi tergantung pada konteks penggunaannya. Analisis wacana
memungkinkan peneliti untuk mengungkap bagaimana makna dikonstruksi, dipahami,
dan diinterpretasikan oleh pembaca atau pendengar. Hal ini sangat relevan dalam
berbagai bidang seperti linguistik, komunikasi, sosiologi, dan studi budaya.
Pengembangan
makna dalam wacana sangat memengaruhi pemahaman pembaca atau pendengar. Makna
yang disampaikan dalam suatu teks atau ujaran tidak hanya bergantung pada
kata-kata yang digunakan, tetapi juga pada konteks, tujuan komunikasi, serta
latar belakang sosial dan budaya dari pihak yang terlibat. Oleh karena itu,
analisis wacana membantu dalam memahami bagaimana makna dibentuk dan
ditafsirkan dalam berbagai situasi komunikasi. Salah satu tantangan utama dalam
menafsirkan makna dalam suatu wacana adalah adanya ambiguitas bahasa serta
perbedaan latar belakang penutur dan pendengar. Faktor-faktor seperti bias
budaya, perbedaan persepsi, dan konteks sosial dapat memengaruhi bagaimana
suatu wacana dipahami. Selain itu, dalam wacana tertulis, keterbatasan ekspresi
non-verbal dapat menjadi kendala dalam menangkap makna secara akurat.
Karakteristik
suatu wacana juga memengaruhi cara makna dikembangkan. Wacana formal cenderung
memiliki struktur yang lebih sistematis dan eksplisit, sedangkan wacana
informal sering kali mengandalkan makna implisit yang bergantung pada konteks
dan hubungan sosial antara penutur dan pendengar. Hal ini menunjukkan bahwa
makna dalam wacana dapat bersifat eksplisit, yakni makna yang secara langsung
dapat dipahami dari teks, maupun implisit, yaitu makna yang harus ditafsirkan
berdasarkan konteks dan latar belakang komunikasi (Wiyanti, 2016).
Terdapat
berbagai pendekatan dalam analisis wacana yang digunakan untuk menelusuri
makna, di antaranya adalah pendekatan struktural, fungsional, kritis, dan
interaksional. Pendekatan struktural berfokus pada analisis bentuk dan pola
bahasa dalam wacana, sedangkan pendekatan fungsional menekankan pada tujuan
komunikasi dan fungsi bahasa dalam konteks sosial tertentu. Sementara itu,
pendekatan kritis melihat wacana sebagai alat yang merefleksikan dan membentuk
kekuasaan serta ideologi dalam masyarakat. Pendekatan interaksional, di sisi
lain, menekankan pada aspek pragmatik dan interaksi antara partisipan dalam
komunikasi.Konteks sosial dan budaya memainkan peran penting dalam pengembangan
makna dalam wacana. Misalnya, dalam komunikasi antarbudaya, perbedaan dalam
norma sosial dan sistem nilai dapat memengaruhi cara makna disampaikan dan
dipahami. Oleh karena itu, analisis wacana tidak dapat dilepaskan dari
faktor-faktor sosial dan budaya yang melatarbelakanginya.
Teori
linguistik seperti semantik dan pragmatik juga memiliki kontribusi yang besar
dalam analisis wacana. Semantik berfokus pada makna kata dan kalimat dalam
wacana, sementara pragmatik mengkaji bagaimana makna dipahami dalam konteks
komunikasi tertentu. Kombinasi kedua bidang ini membantu dalam memahami
bagaimana wacana dapat memiliki makna yang beragam tergantung pada
penggunaannya. Analisis wacana dan pengembangan makna memiliki aplikasi dalam
berbagai bidang, termasuk media massa, pendidikan, politik, dan hukum. Dalam
media massa, analisis wacana digunakan untuk mengidentifikasi bagaimana suatu
berita atau pesan disusun untuk mempengaruhi opini publik. Dalam pendidikan,
pemahaman wacana membantu dalam pengajaran bahasa dan literasi, terutama dalam
mengembangkan keterampilan membaca kritis.
Dalam
komunikasi, pendekatan analisis wacana digunakan untuk memahami bagaimana pesan
disusun dalam berbagai konteks, seperti pidato politik, iklan, dan interaksi
bisnis. Variasi bahasa dan gaya bahasa dalam suatu wacana juga memegang peranan
penting dalam membentuk makna. Misalnya, pilihan kata, penggunaan metafora,
serta intonasi dapat mengubah persepsi terhadap suatu pesan dan memengaruhi
cara pesan tersebut diterima oleh audiens.
Pemahaman
tentang pengembangan makna dalam wacana dapat meningkatkan keterampilan
komunikasi, baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Dengan memahami
bagaimana makna dikonstruksi dan dikomunikasikan, individu dapat menjadi
komunikator yang lebih efektif dan kritis dalam menafsirkan informasi. Mengkaji
wacana dari berbagai perspektif pendekatan menjadi penting karena setiap
pendekatan menawarkan wawasan yang berbeda dalam memahami makna dalam
komunikasi. Pendekatan struktural membantu dalam memahami pola bahasa,
pendekatan fungsional menyoroti fungsi komunikasi, pendekatan kritis mengungkap
aspek ideologi dalam wacana, dan pendekatan interaksional memberikan gambaran
tentang dinamika komunikasi dalam interaksi sosial. Tujuan utama dari
penelusuran pendekatan dan pengembangan makna dalam wacana adalah untuk
memahami bagaimana karakteristik wacana memengaruhi penyampaian dan
interpretasi makna. Dengan demikian, penelitian dalam bidang ini tidak hanya
memberikan wawasan tentang bagaimana bahasa digunakan dalam berbagai konteks,
tetapi juga membantu dalam meningkatkan efektivitas komunikasi dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam esai ini, kita akan membahas berbagai pendekatan dalam analisis wacana serta bagaimana makna berkembang dalam sebuah wacana. Pendekatan dalam analisis wacana meliputi analisis formal, fungsional, kritis. Dengan memahami berbagai pendekatan ini, kita dapat lebih kritis dalam menelaah wacana yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari serta memahami bagaimana bahasa digunakan untuk menyampaikan ide, membentuk opini, atau bahkan menyembunyikan maksud tertentu. Keseluruhan pembahasan dalam esai ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai wacana serta bagaimana makna berkembang dalam suatu wacana. Dengan memahami konsep-konsep dasar serta pendekatan dalam analisis wacana, kita dapat lebih cermat dalam menginterpretasi dan menggunakan bahasa dalam berbagai konteks. Selain itu, pemahaman terhadap wacana juga memungkinkan kita untuk lebih kritis dalam menanggapi informasi yang kita terima, baik dari media, politik, pendidikan, maupun kehidupan sosial secara umum. Oleh karena itu, studi tentang wacana tidak hanya relevan dalam lingkup akademik, tetapi juga memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan sehari-hari.
Pembahasan
A. Pendekatan
dalam Analisis Wacana
Analisis
wacana merupakan bidang kajian linguistik yang menelaah bagaimana bahasa
digunakan dalam berbagai konteks komunikasi. Dalam kajiannya, terdapat beberapa
pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami struktur, fungsi, serta dampak
sosial dari wacana yang dihasilkan. Pendekatan utama dalam analisis wacana
meliputi pendekatan formal, pendekatan fungsional, dan pendekatan kritis.
Masing-masing pendekatan memiliki fokus dan metode analisis yang berbeda, yang
membantu dalam memahami wacana dari berbagai perspektif. Menurut (Asher dan
Simpson, 1994: 940) dalam (Mardikantoro & Haryadi, 2018) pendekatan dalam
analisis wacana dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, di antaranya pendekatan
formal, pendekatan fungsional, dan pendekatan kritis.
1. Pendekatan
Formal
Pendekatan formal ini berfokus pada struktur
linguistik dalam wacana, seperti sintaksis, leksikon, dan kohesi. Dalam
pendekatan ini, analisis dilakukan dengan melihat bagaimana unsur-unsur
linguistik saling berhubungan untuk membentuk suatu makna yang koheren. Pendekatan
ini menitikberatkan pada bagaimana unsur-unsur bahasa seperti kohesi dan
koherensi membentuk wacana yang padu dan dapat dipahami oleh pembaca atau
pendengar (Juliantari, 2017).
- Kohesi merujuk pada keterpaduan
unsur-unsur dalam wacana yang ditandai dengan penggunaan konjungsi,
referensi, dan substitusi. Kohesi membantu menghubungkan kata, frasa, atau
kalimat dalam sebuah teks sehingga menjadi lebih runtut dan mudah
dipahami.
- Koherensi berkaitan dengan hubungan
makna yang logis antara bagian-bagian wacana. Meskipun sebuah teks
memiliki kohesi yang baik, tanpa adanya koherensi, pesan yang disampaikan
bisa menjadi sulit dimengerti.
Dalam pendekatan formal, analisis dilakukan dengan
meneliti bagaimana elemen-elemen linguistik saling berhubungan dalam sebuah
teks. Misalnya, dalam artikel berita, seorang analis wacana dapat mengamati
bagaimana penulis menghubungkan satu paragraf dengan paragraf lainnya agar
pembaca mendapatkan informasi secara sistematis dan logis. Selain itu, dalam
teks akademik, penggunaan istilah teknis yang konsisten dan pola argumentasi
yang jelas juga merupakan aspek yang dianalisis dalam pendekatan ini.
2. Pendekatan
Fungsional
Berbeda dengan pendekatan formal yang berfokus pada
struktur bahasa, pendekatan ini lebih menekankan pada bagaimana bahasa
digunakan dalam berbagai konteks untuk mencapai tujuan komunikasi tertentu.
Pendekatan ini mengacu pada teori linguistik sistemik fungsional yang
dikembangkan oleh Michael Halliday, yang menekankan bahwa bahasa memiliki tiga
fungsi utama, yaitu fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual (Ma’shumah, 2021). Fungsi
ideasional berhubungan dengan penyampaian informasi atau ide, fungsi
interpersonal berkaitan dengan bagaimana bahasa digunakan untuk membangun
hubungan antara pembicara dan pendengar, sementara fungsi tekstual berhubungan
dengan bagaimana suatu teks atau wacana diatur agar mudah dipahami.
- Fungsi bahasa dalam komunikasi
menjadi fokus utama dalam pendekatan ini. Bahasa tidak hanya digunakan
untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk membangun hubungan sosial,
mempengaruhi orang lain, atau mengekspresikan sikap dan emosi.
- Makna yang bergantung pada konteks
menjadi aspek penting dalam analisis wacana fungsional. Misalnya, ungkapan
"Silakan duduk" bisa bersifat netral dalam situasi formal,
tetapi bisa bermakna sindiran dalam percakapan santai tergantung pada nada
suara dan ekspresi wajah penutur.
Pendekatan fungsional sering diterapkan dalam berbagai
bidang, seperti analisis iklan, pidato politik, dan interaksi di media sosial.
Dalam analisis iklan, misalnya, pendekatan ini membantu memahami bagaimana
bahasa digunakan untuk menarik perhatian, membujuk, atau membangun citra produk
tertentu. Sementara itu, dalam pidato politik, pendekatan fungsional dapat
digunakan untuk menelaah bagaimana pemimpin politik menggunakan bahasa untuk
memobilisasi dukungan, mengkritik lawan, atau membangun identitas kelompok
tertentu.
3. Pendekatan
Kritis
Pendekatan kritis dalam analisis wacana bertujuan
untuk mengungkap makna tersembunyi dalam wacana dengan mempertimbangkan faktor
ideologi dan kekuasaan. Pendekatan ini melihat bahwa wacana tidak hanya
berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai instrumen untuk
membentuk opini, mempertahankan dominasi, atau menantang struktur sosial yang
ada (Setiawan, 2014).
- Wacana sebagai alat kekuasaan menjadi
fokus utama dalam pendekatan ini. Bahasa digunakan tidak hanya untuk
menyampaikan informasi, tetapi juga untuk membentuk cara berpikir
masyarakat dan mengarahkan opini publik.
- Analisis terhadap bias dalam wacana
juga menjadi bagian penting dalam pendekatan ini. Dalam pemberitaan media,
misalnya, pemilihan kata dan cara penyajian suatu peristiwa dapat
menunjukkan bias tertentu yang menguntungkan atau merugikan pihak
tertentu.
Tokoh utama dalam pendekatan ini adalah Teun A. van
Dijk, yang menekankan bahwa analisis wacana tidak hanya melihat teks, tetapi
juga konteks sosial dan politik di baliknya. Van Dijk mengembangkan teori bahwa
wacana memiliki struktur yang mencerminkan ideologi tertentu, yang dapat
mempengaruhi cara masyarakat memahami suatu isu. Pendekatan ini sering
diterapkan dalam analisis media, politik, dan kebijakan publik untuk membongkar
bagaimana bahasa digunakan untuk membangun atau mempertahankan dominasi sosial (Islamiyah & Hermaliza, 2024).
Sebagai contoh, dalam analisis berita tentang konflik
sosial, pendekatan kritis dapat mengungkap bagaimana kelompok tertentu
digambarkan dalam wacana media. Misalnya, penggunaan kata
"demonstran" versus "perusuh" dalam peliputan aksi protes
dapat mencerminkan sikap dan posisi media terhadap kelompok tersebut.
Pendekatan ini juga dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana wacana gender,
ras, atau kelas sosial direpresentasikan dalam berbagai bentuk komunikasi
publik.
Analisis wacana merupakan bidang studi yang luas dan
kompleks, dengan berbagai pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami
bagaimana bahasa berfungsi dalam komunikasi. Pendekatan formal membantu
memahami struktur wacana melalui analisis kohesi dan koherensi. Pendekatan
fungsional berfokus pada bagaimana bahasa digunakan dalam konteks komunikasi
untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu, pendekatan kritis mengungkap
bagaimana bahasa dapat digunakan sebagai alat kekuasaan untuk membentuk opini
dan mempertahankan dominasi sosial.
Dengan memahami ketiga pendekatan ini, kita dapat
lebih kritis dalam menafsirkan teks dan wacana yang kita temui sehari-hari.
Pendekatan formal membantu kita mengenali struktur dan pola dalam teks,
pendekatan fungsional membantu memahami bagaimana bahasa berfungsi dalam
komunikasi sosial, dan pendekatan kritis memungkinkan kita untuk menyadari
bagaimana wacana dapat digunakan untuk membentuk opini dan ideologi dalam
masyarakat. Dengan demikian, analisis wacana tidak hanya menjadi alat akademik,
tetapi juga keterampilan penting dalam memahami dunia yang semakin dipenuhi
oleh informasi dan komunikasi berbasis teks.
B. Pengembangan
Makna dalam Wacana
Dalam komunikasi, makna dalam wacana tidak bersifat
tetap melainkan berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pengembangan
makna dalam wacana bisa terjadi karena berbagai hal, termasuk faktor
kontekstual, polisemi dan ambiguitas, penggunaan metafora dan makna kiasan,
serta intertekstualitas. Pemahaman mengenai pengaruh masing-masing aspek ini
sangat penting untuk menganalisis bagaimana makna terbentuk dan berkembang
dalam komunikasi lisan maupun tulisan.
Faktor
Kontekstual dalam Pengembangan Makna
Faktor kontekstual memainkan peran penting dalam
menentukan bagaimana suatu wacana dipahami. Konteks dapat mencakup situasi
komunikasi, tujuan komunikasi, dan relasi sosial antara partisipan dalam
percakapan atau teks.
1. Situasi
Komunikasi Situasi komunikasi meliputi latar tempat, waktu, dan kondisi di mana
suatu wacana diproduksi dan diterima. Misalnya, kalimat "Hujan deras
sekali" akan memiliki makna yang berbeda tergantung pada situasi
komunikasi. Jika diucapkan oleh seseorang yang sedang berada di luar rumah
tanpa payung, pernyataan ini bisa berarti keluhan. Namun, jika diucapkan oleh
seorang petani yang menunggu hujan untuk menyuburkan sawahnya, pernyataan ini
mungkin mengandung nada kegembiraan.
2. Tujuan
Komunikasi Tujuan komunikasi juga mempengaruhi makna dalam wacana. Seseorang
yang berbicara dengan tujuan meyakinkan, menghibur, atau memberi perintah akan
memilih kata dan struktur yang berbeda. Sebagai contoh, pernyataan "Besok
kita harus kerja keras" mungkin bermakna sebagai dorongan semangat jika
diucapkan oleh seorang pemimpin tim, tetapi bisa juga bermakna sebagai
peringatan jika diucapkan oleh atasan yang menegur bawahannya.
3. Relasi
Sosial Hubungan antara pembicara dan pendengar juga membentuk makna dalam
wacana. Misalnya, ungkapan "Kamu ini benar-benar keterlaluan!" dapat
memiliki makna berbeda jika diucapkan dalam konteks bercanda antara sahabat
dibandingkan jika diucapkan oleh atasan kepada bawahannya dalam lingkungan
kerja. Faktor-faktor seperti hierarki sosial, kedekatan emosional, dan norma
budaya turut mempengaruhi bagaimana suatu wacana dipahami.
Polisemi
dan Ambiguitas dalam Wacana
Polisemi dan ambiguitas sering menjadi faktor utama
dalam pengembangan makna dalam wacana. Kata atau frasa yang memiliki banyak
makna dapat memberikan fleksibilitas dalam interpretasi, tetapi juga bisa
menyebabkan kebingungan jika tidak ada kejelasan konteks.
1.
Polisemi (banyak makna) mengacu pada
fenomena ketika satu kata memiliki lebih dari satu makna yang terkait (Anisah, 2016) . Contoh kata
"kepala" dapat memiliki berbagai makna tergantung pada konteks
penggunaannya:
· "Kepala
sekolah memberikan pengumuman." (kepala = pemimpin)
· "Dia
mengalami luka di kepala." (kepala = bagian tubuh)
· "Kepala
surat harus dicetak tebal." (kepala = bagian awal surat)
Dalam
wacana, makna kata yang dipilih bergantung pada konteks yang mengelilinginya.
2.
Ambiguitas muncul ketika suatu kata,
frasa, atau kalimat memiliki lebih dari satu kemungkinan makna (Bustam, 2020). Ambiguitas dapat
terjadi pada tingkat leksikal (kata) maupun sintaksis (struktur kalimat).
Contoh ambiguitas:
· "Anak
perempuan Pak Budi sangat pandai."
§ Bisa
berarti anak perempuan Pak Budi yang sangat pandai.
§ Bisa
juga berarti Pak Budi adalah seorang anak perempuan yang pandai.
Ambiguitas
sering kali dimanfaatkan dalam wacana sastra atau humor untuk menciptakan efek
tertentu, tetapi juga bisa menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan
dengan baik.
Metafora
dan Makna Kiasan dalam Wacana
Metafora dan makna kiasan juga berperan dalam
pengembangan makna dalam wacana. Penggunaan gaya bahasa seperti metafora,
simile, dan personifikasi dapat memperkaya wacana dengan cara memberikan makna
yang lebih dalam atau simbolis.
1. Metafora
adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berbeda tanpa menggunakan
kata penghubung seperti "seperti" atau "bagaikan" (Lahay, 2022). Contoh
penggunaan metafora dalam wacana:
· "Hidup
ini adalah panggung sandiwara."
· "Dia
adalah bintang di timnya."
Dalam contoh tersebut, kehidupan dibandingkan dengan
panggung sandiwara, dan seseorang dibandingkan dengan bintang untuk
menggambarkan perannya yang menonjol dalam tim. Metafora memungkinkan bahasa
menjadi lebih ekspresif dan menciptakan pemahaman yang lebih mendalam.
2. Makna
Kiasan Makna kiasan sering digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk
menyampaikan pesan secara tidak langsung. Kiasan atau
disebut juga gaya
bahasa, merupakan suatu bentuk
penggunaan bahasa dalam bentuk
perbandingan atau perumpamaan (Sardani & Indriani, 2018). Misalnya:
· "Dia
memiliki tangan dingin dalam bisnis." (Maknanya bukan secara harfiah
tangannya dingin, tetapi dia ahli dalam bisnis.)
· "Perjalanan
hidupnya penuh dengan liku-liku." (Maknanya bukan jalannya benar-benar
berliku, tetapi hidupnya penuh tantangan.)
Makna kiasan ini berfungsi untuk memperkaya wacana dan
memberikan efek estetis atau emosional dalam komunikasi.
Intertekstualitas
dan Pengayaan Makna dalam Wacana
Intertekstualitas adalah proses di mana suatu wacana
merujuk atau berkaitan dengan wacana lain, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Dalam banyak kasus, makna dalam wacana berkembang karena adanya
hubungan dengan teks-teks lain yang telah ada sebelumnya.
1. Referensi
terhadap Teks Lain Intertekstualitas sering terjadi ketika suatu teks mengutip,
menyindir, atau mengadaptasi elemen dari teks lain. Contohnya:
· Dalam
sastra, novel Perahu Kertas karya Dee Lestari dapat memiliki makna lebih
dalam jika pembaca memahami referensinya terhadap karya sastra dan budaya
populer lainnya.
· Dalam
film, banyak karya modern yang merujuk pada mitologi atau cerita klasik,
seperti film The Lion King yang memiliki kemiripan dengan Hamlet
karya Shakespeare.
Intertekstualitas memperkaya makna wacana karena
pembaca atau pendengar yang memahami referensi tersebut dapat menangkap makna
tambahan yang tidak eksplisit dalam teks itu sendiri. Intertekstualitas dapat
dirumuskan secara sederhana sebagai hubungan antara sebuah teks tertentu dengan
teks-teks lain (Garwan, 2020).
2. Pemakaian
Idiom dan Ungkapan Budaya Ungkapan-ungkapan tertentu dalam suatu budaya bisa
menjadi bentuk intertekstualitas karena maknanya telah dikonstruksi melalui
sejarah dan kebiasaan. Contoh:
· "Seperti
katak dalam tempurung." (merujuk pada seseorang yang memiliki wawasan
sempit)
· "Makan
waktu" (berarti memakan banyak waktu, bukan secara harfiah memakan
sesuatu)
Karena banyak ungkapan ini berasal dari tradisi atau
karya sastra terdahulu, pemahamannya sering kali memerlukan pengetahuan budaya
dan sejarah.
Pengembangan
makna dalam wacana terjadi karena berbagai faktor, termasuk konteks komunikasi,
fenomena polisemi dan ambiguitas, penggunaan metafora dan makna kiasan, serta
intertekstualitas. Faktor-faktor ini membentuk bagaimana suatu pesan dipahami
dan ditafsirkan oleh pembaca atau pendengar. Oleh karena itu, memahami dinamika
pengembangan makna dalam wacana sangat penting dalam komunikasi, baik dalam
lingkup akademik, sastra, maupun percakapan sehari-hari. Dengan memahami
bagaimana makna berkembang, kita dapat berkomunikasi dengan lebih efektif dan
menghindari kesalahpahaman dalam interaksi sosial.
Karakteristik
Wacana dalam Pengembangan Makna
Wacana
Lisan dan Wacana Tertulis
Wacana
dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk utama, yaitu wacana lisan dan wacana
tertulis. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal penyampaian,
struktur, serta pengembangan makna. Wacana lisan bersifat spontan dan cenderung
lebih fleksibel dibandingkan dengan wacana tertulis. Dalam percakapan, makna
dapat dikembangkan melalui intonasi, gestur, ekspresi wajah, serta konteks
situasional. Sebagai contoh, dalam komunikasi verbal, seseorang dapat mengulang
kata, menggunakan jeda, atau memberikan penekanan tertentu untuk memperjelas
maksudnya. Selain itu, wacana lisan juga sering kali melibatkan interaksi dua
arah yang memungkinkan makna berkembang secara dinamis. Seorang pembicara dapat
menyesuaikan pesan mereka berdasarkan respons dari pendengar, memperjelas makna
melalui tanya jawab, atau bahkan mengoreksi ucapan mereka jika terjadi
kesalahpahaman. Oleh karena itu, wacana lisan bersifat lebih adaptif dan dapat
mengalami perubahan seiring berlangsungnya percakapan (Muis, 2014).
Sebaliknya,
wacana tertulis lebih terstruktur dan memiliki sifat permanen. Penulis harus
merencanakan isi wacana secara lebih sistematis untuk memastikan makna dapat
tersampaikan dengan jelas kepada pembaca. Dalam teks tertulis, tidak ada
bantuan berupa intonasi atau gestur, sehingga makna dikembangkan melalui
penggunaan tanda baca, pemilihan kata, serta struktur kalimat yang baik.
Sebagai contoh, dalam esai akademik atau laporan resmi, penyampaian makna harus
logis dan koheren, serta mengacu pada kaidah kebahasaan yang telah ditentukan.
Perbedaan lainnya adalah dalam wacana tertulis, pembaca tidak dapat secara
langsung mengajukan pertanyaan atau meminta klarifikasi kepada penulis (Rohana & Syamsuddin, 2015). Oleh karena itu,
penggunaan bahasa yang eksplisit dan sistematis menjadi sangat penting dalam
mengembangkan makna.
Dari
segi kohesi dan koherensi, wacana tertulis cenderung lebih terstruktur dengan
penggunaan konjungsi, referensi, dan pengulangan kata yang disengaja untuk
mempertahankan kesinambungan ide. Sementara itu, dalam wacana lisan,
kesinambungan dapat didukung oleh faktor non-verbal serta keterlibatan langsung
antara pembicara dan pendengar. Oleh karena itu, meskipun kedua bentuk wacana
ini memiliki tujuan yang sama dalam menyampaikan makna, cara pengembangannya
sangat bergantung pada mediumnya.
Wacana
Formal dan Informal
Selain
perbedaan antara wacana lisan dan tertulis, wacana juga dapat dibedakan
berdasarkan tingkat formalitasnya, yaitu wacana formal dan informal.
Karakteristik kedua jenis wacana ini sangat menentukan bagaimana makna
dikembangkan serta bagaimana pesan disampaikan. Wacana formal biasanya
digunakan dalam situasi resmi seperti pidato kenegaraan, laporan akademik,
dokumen hukum, atau pertemuan bisnis. Karakteristik utama dari wacana formal
adalah penggunaan bahasa yang baku, struktur yang sistematis, serta minimnya
penggunaan unsur emosional atau subjektivitas. Dalam pengembangan makna, wacana
formal mengandalkan ketepatan diksi, logika yang terstruktur, serta penggunaan
istilah teknis yang sesuai dengan konteksnya. Sebagai contoh, dalam makalah
ilmiah, penulis harus memastikan bahwa setiap argumen yang disampaikan didukung
oleh data atau referensi yang valid agar makna yang dihasilkan bersifat
objektif dan dapat dipahami secara universal.
Sebaliknya,
wacana informal bersifat lebih santai dan sering digunakan dalam komunikasi
sehari-hari, seperti percakapan dengan teman, chat di media sosial, atau pesan
singkat. Wacana ini lebih fleksibel dalam pemilihan kata dan struktur kalimat.
Penggunaan idiom, slang, serta bahasa non-baku sering kali ditemukan dalam
wacana informal. Karena lebih bersifat pribadi dan kontekstual, pengembangan
makna dalam wacana informal sering kali bergantung pada pengalaman bersama atau
latar belakang budaya dari para peserta komunikasi. Misalnya, dalam percakapan
antara teman dekat, makna dapat tersampaikan dengan baik meskipun kalimat yang
digunakan tidak selalu lengkap atau gramatikal, karena adanya pemahaman
kontekstual yang sama.
Selain
itu, dalam wacana informal, ekspresi dan emosi memiliki peran yang lebih besar
dalam membentuk makna. Seorang pembicara dapat menggunakan nada suara,
penekanan kata, atau bahkan humor untuk menambah makna tertentu dalam
percakapan. Hal ini berbeda dengan wacana formal, di mana bahasa harus tetap
netral dan profesional. Oleh karena itu, pemilihan jenis wacana yang tepat
sangat bergantung pada tujuan komunikasi serta audiens yang dituju.
Wacana
Akademik, Jurnalistik, dan Media Sosial
Dalam
konteks yang lebih spesifik, wacana juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
bidang atau media yang digunakan, seperti wacana akademik, jurnalistik, dan
media sosial. Setiap jenis wacana ini memiliki karakteristik unik dalam
pengembangan makna.
1.
Wacana Akademik
Wacana
akademik digunakan dalam lingkungan pendidikan dan penelitian, seperti dalam
jurnal ilmiah, skripsi, disertasi, atau makalah konferensi. Ciri utama wacana akademik
adalah penggunaan bahasa yang formal, objektif, serta berbasis bukti. Dalam
pengembangan maknanya, wacana akademik menuntut adanya argumen yang logis, data
yang valid, serta penggunaan teori yang relevan. Struktur tulisan akademik
umumnya mencakup pendahuluan, tinjauan pustaka, metode, hasil, dan pembahasan,
yang semuanya berfungsi untuk memastikan bahwa makna yang disampaikan jelas dan
sistematis.
2.
Wacana Jurnalistik
Berbeda
dengan wacana akademik, wacana jurnalistik lebih berorientasi pada penyampaian
informasi kepada khalayak umum. Contohnya adalah berita, artikel opini, dan
laporan investigasi. Wacana jurnalistik memiliki karakteristik yang lebih
ringkas dan langsung pada inti permasalahan. Dalam pengembangan maknanya,
wacana jurnalistik menggunakan teknik seperti piramida terbalik, di mana
informasi paling penting diletakkan di awal, diikuti dengan detail tambahan.
Selain itu, bahasa yang digunakan cenderung lebih mudah dipahami oleh berbagai
kalangan agar informasi dapat tersampaikan dengan efektif.
3.
Wacana Media Sosial
Wacana
media sosial memiliki karakteristik yang paling dinamis dibandingkan dua jenis
wacana sebelumnya. Dalam media sosial seperti Twitter, Facebook, atau
Instagram, pengembangan makna sangat dipengaruhi oleh format platform serta
interaksi pengguna. Penggunaan emoji, hashtag, serta gaya bahasa yang lebih
santai membuat wacana media sosial menjadi lebih fleksibel. Namun, karena
keterbatasan karakter dalam beberapa platform, makna dalam wacana media sosial
sering kali berkembang melalui konteks tambahan, seperti komentar, tanggapan
dari pengguna lain, atau penggunaan meme dan gambar. Selain itu, sifat viral
dari media sosial memungkinkan suatu wacana berkembang secara cepat dengan
berbagai interpretasi yang dapat memengaruhi maknanya.
Karakteristik
wacana sangat berpengaruh terhadap cara makna dikembangkan dan disampaikan.
Wacana lisan lebih fleksibel dan interaktif, sedangkan wacana tertulis lebih
terstruktur dan permanen. Sementara itu, perbedaan antara wacana formal dan
informal menunjukkan bagaimana tingkat keseriusan dan tujuan komunikasi
memengaruhi pemilihan bahasa dan strategi pengembangan makna. Dalam bidang
tertentu, seperti akademik, jurnalistik, dan media sosial, wacana memiliki ciri
khas tersendiri yang menentukan bagaimana informasi dan makna diproses serta
diterima oleh audiens. Pemahaman terhadap berbagai karakteristik wacana ini
sangat penting dalam meningkatkan efektivitas komunikasi dalam berbagai situasi
dan konteks.
Studi
Kasus dan Contoh Analisis Wacana
1.
Analisis Wacana Berita
Studi
Kasus: Artikel Berita tentang Isu Sosial
Dalam
dunia jurnalistik, pemilihan kata dan struktur berita sangat menentukan
bagaimana suatu peristiwa dipahami oleh masyarakat. Misalnya, dalam pemberitaan
tentang demonstrasi, penggunaan kata "aksi damai" dan "kerusuhan"
menghasilkan makna yang berbeda, meskipun peristiwa yang dilaporkan sama.
Pemilihan diksi dalam berita tidak hanya berfungsi untuk mendeskripsikan
peristiwa, tetapi juga dapat membentuk opini publik terhadapnya. Jika sebuah
media menggunakan frasa seperti "ribuan warga menggelar aksi damai
menuntut keadilan", maka berita tersebut cenderung memberikan kesan
positif dan menekankan hak demokrasi masyarakat. Sebaliknya, jika media lain
melaporkan peristiwa yang sama dengan judul "Demonstrasi Berujung
Chaos, Polisi Terpaksa Menindak", maka wacana yang dibangun mengarah
pada citra negatif terhadap demonstrasi tersebut.
Struktur
berita juga mempengaruhi bagaimana makna dikembangkan. Dalam teks berita,
bagian judul dan lead (paragraf pembuka) memiliki peran besar dalam membentuk
pemahaman awal pembaca. Jika sebuah berita menyoroti tuntutan demonstran dalam
lead-nya, maka pembaca akan lebih fokus pada substansi protes yang dilakukan.
Namun, jika lead berita lebih menonjolkan bentrokan dengan aparat atau
kerusuhan yang terjadi, maka makna yang terbentuk dalam benak pembaca cenderung
mengarah pada aspek keamanan dan ketertiban. Oleh karena itu, media memiliki
peran strategis dalam membangun wacana tertentu melalui pemilihan kata dan
struktur narasi yang digunakan.
2.
Analisis Wacana Pidato
Studi
Kasus: Pidato Pemimpin Negara dalam Krisis Nasional
Pidato
merupakan salah satu bentuk wacana lisan yang memiliki kekuatan dalam membentuk
persepsi publik dan mengarahkan opini masyarakat. Dalam situasi krisis
nasional, pemimpin negara biasanya menyampaikan pidato yang bertujuan untuk
menenangkan masyarakat dan membangun solidaritas. Analisis terhadap wacana
dalam pidato dapat dilihat melalui penggunaan retorika, pilihan kata, serta
bagaimana pemimpin menyusun narasi untuk menciptakan efek tertentu.
Sebagai
contoh, dalam pidato yang disampaikan saat menghadapi krisis, seorang pemimpin
mungkin menggunakan kalimat seperti "Kita akan bangkit bersama. Krisis
ini bukan akhir, tetapi awal dari perubahan besar." Kalimat ini
mengandung beberapa elemen retoris yang kuat. Pertama, penggunaan kata "kita"
menunjukkan strategi inklusivitas, di mana pemimpin ingin membangun rasa
persatuan dengan rakyatnya. Kedua, frase "bangkit bersama"
berfungsi untuk memberikan harapan, sedangkan penggunaan diksi "awal
dari perubahan besar" memberikan makna optimisme terhadap masa depan.
Selain
itu, pemilihan metafora dalam pidato juga memainkan peran penting dalam
pengembangan makna. Dalam pidato krisis, pemimpin sering kali menggunakan
metafora seperti "badai akan berlalu" atau "terowongan
gelap yang akan berujung pada cahaya". Metafora ini membantu mengubah
persepsi negatif menjadi sesuatu yang lebih positif, sehingga masyarakat lebih
mudah menerima pesan yang ingin disampaikan. Dengan demikian, wacana pidato
tidak hanya bersifat informatif tetapi juga persuasif, karena dapat membangun semangat
dan membentuk persepsi publik secara lebih terarah.
3.
Analisis Wacana Media Sosial
Studi
Kasus: Hashtag di Twitter Seputar Isu Politik
Dalam
era digital, media sosial menjadi ruang utama bagi pembentukan wacana publik.
Salah satu elemen penting dalam wacana digital adalah penggunaan hashtag, yang
berfungsi untuk mengorganisir diskusi dan menyebarluaskan pesan dalam lingkup
yang lebih luas. Hashtag tidak hanya sekadar penanda topik, tetapi juga
memiliki potensi untuk membentuk makna baru dan memengaruhi opini publik.
Sebagai
contoh, hashtag #SaveOurEarth awalnya digunakan sebagai kampanye
lingkungan untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu perubahan iklim. Namun,
seiring waktu, makna hashtag ini berkembang menjadi simbol protes terhadap
kebijakan pemerintah yang dianggap merusak lingkungan, seperti penggundulan
hutan atau pembangunan industri yang mengancam ekosistem. Dalam kasus ini,
makna yang berkembang dalam wacana media sosial sangat dipengaruhi oleh
interaksi pengguna. Komentar, retweet, dan meme yang dibuat oleh netizen dapat
mengubah persepsi awal terhadap suatu isu dan memperluas cakupan maknanya.
Selain
itu, media sosial juga memiliki sifat dinamis yang memungkinkan wacana
berkembang dengan cepat. Jika sebuah hashtag menjadi viral, maka makna yang
melekat pada tagar tersebut bisa berkembang melalui berbagai interpretasi
pengguna. Contohnya, sebuah hashtag yang awalnya netral bisa berubah menjadi
alat propaganda politik atau menjadi bagian dari kampanye sosial yang lebih
luas. Dengan demikian, analisis wacana di media sosial tidak hanya menyoroti
teks yang digunakan, tetapi juga bagaimana teks tersebut berkembang melalui
partisipasi pengguna secara aktif.
4.
Analisis Wacana Sastra
Studi
Kasus: Novel 1984 oleh George Orwell
Dalam
dunia sastra, wacana sering kali digunakan untuk merepresentasikan ideologi dan
kritik sosial terhadap kondisi masyarakat. Novel 1984 karya George
Orwell adalah salah satu contoh yang menunjukkan bagaimana bahasa dan wacana
dapat digunakan untuk membentuk realitas sosial. Dalam novel ini, Orwell
menciptakan konsep-konsep seperti Big Brother, doublethink, dan newspeak,
yang kini telah menjadi bagian dari bahasa sehari-hari dan digunakan untuk
menggambarkan kontrol pemerintah terhadap informasi dan kebebasan berpikir.
Analisis
terhadap wacana dalam novel ini dapat dilakukan dengan pendekatan kritis, yang
melihat bagaimana makna dikonstruksi untuk mengkritik kekuasaan. Salah satu
contoh dalam novel adalah slogan "War is peace. Freedom is slavery.
Ignorance is strength." Kalimat ini mencerminkan bagaimana bahasa
dapat dimanipulasi oleh pihak berkuasa untuk mengontrol pemikiran masyarakat.
Konsep doublethink, yaitu kemampuan untuk menerima dua pemikiran yang
bertentangan secara bersamaan, menunjukkan bagaimana wacana dapat digunakan
untuk mengendalikan kebenaran dan membentuk ideologi tertentu (Arsiladeva et al., 2023).
Selain
itu, novel ini juga menggambarkan bagaimana kontrol terhadap bahasa dapat
memengaruhi makna yang dikembangkan dalam masyarakat. Dalam 1984,
pemerintah menciptakan bahasa newspeak untuk menggantikan bahasa lama
dan menghilangkan kata-kata yang dapat memicu pemikiran kritis. Ini menunjukkan
bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga alat kekuasaan yang
dapat membentuk realitas sosial. Dengan demikian, wacana dalam sastra memiliki
peran penting dalam mengkritik struktur sosial dan memberikan pemahaman yang
lebih dalam tentang bagaimana makna berkembang dalam masyarakat.
Dari
berbagai studi kasus di atas, dapat dilihat bahwa pengembangan makna dalam
wacana sangat dipengaruhi oleh konteks, struktur bahasa, dan interaksi sosial.
Dalam berita, pemilihan kata dan struktur narasi dapat membentuk sudut pandang
tertentu terhadap suatu peristiwa. Dalam pidato, strategi retoris digunakan
untuk membangun emosi dan memengaruhi audiens. Media sosial memungkinkan makna
berkembang secara dinamis melalui partisipasi pengguna, sementara sastra
mencerminkan bagaimana wacana dapat merepresentasikan dan mengkritik realitas
sosial. Dengan memahami bagaimana wacana dikonstruksi dalam berbagai konteks,
kita dapat lebih kritis dalam menafsirkan pesan yang disampaikan melalui
berbagai bentuk komunikasi.
Implikasi
Wacana dalam Kehidupan Sehari-hari
Pemahaman
tentang pendekatan dan pengembangan makna dalam wacana sangat berguna dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam era digital saat ini, kita dibanjiri oleh berbagai
jenis wacana, baik dalam bentuk berita, opini di media sosial, maupun iklan.
Kemampuan untuk menganalisis wacana secara kritis dapat membantu kita memilah
informasi yang valid dan menghindari manipulasi bahasa.
Berikut
adalah beberapa poin penting terkait implikasi wacana dalam kehidupan
sehari-hari:
1) Analisis
Media dan Berita
Salah
satu contoh penerapan analisis wacana adalah dalam mengidentifikasi bias dalam
pemberitaan media. Berbagai media sering kali memiliki agenda atau sudut
pandang tertentu yang dapat memengaruhi cara informasi disajikan. Dengan memahami
bagaimana bahasa digunakan untuk membangun narasi tertentu, kita dapat
mengembangkan pemahaman yang lebih objektif terhadap berita yang kita konsumsi.
Hal ini juga membantu kita dalam menghindari penyebaran informasi yang tidak
akurat atau hoaks.
2) Debat
Publik dan Isu Sosial
Dalam
debat publik mengenai isu sosial, cara seseorang menyampaikan argumen dapat
memengaruhi cara kita menafsirkannya. Pemahaman tentang implikatur dan
presuposisi memungkinkan kita untuk lebih peka terhadap makna tersirat dalam
komunikasi politik atau media massa. Misalnya, seorang politisi mungkin
menggunakan kata-kata tertentu yang mengandung asumsi tersembunyi untuk
membentuk opini publik tanpa menyatakan sesuatu secara eksplisit. Kesadaran
terhadap teknik ini dapat membantu kita menilai argumen secara lebih kritis.
3) Komunikasi
dalam Dunia Kerja
Dalam
dunia kerja, keterampilan dalam memahami dan menyusun wacana yang efektif
sangat berharga. Baik dalam presentasi bisnis, laporan, maupun komunikasi
dengan klien, kemampuan menyusun wacana yang kohesif dan koheren dapat
meningkatkan efektivitas komunikasi. Misalnya, dalam negosiasi bisnis, cara
penyampaian informasi dapat memengaruhi keputusan yang diambil oleh pihak lain.
Dengan memahami cara menyusun pesan yang persuasif dan logis, seseorang dapat
meningkatkan peluang keberhasilan dalam komunikasi bisnis.
4) Pentingnya
Wacana dalam Akademik
Pada
lingkungan akademik, kemampuan menganalisis dan mengembangkan makna dalam
wacana juga sangat penting. Mahasiswa dan peneliti harus mampu menyusun argumen
yang kuat dan mendukungnya dengan bukti yang relevan. Selain itu, mereka juga
perlu memahami bagaimana wacana dalam literatur ilmiah dibangun agar dapat
berkontribusi secara efektif dalam diskusi akademik. Dengan demikian,
keterampilan ini berperan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
5) Interaksi
Sosial Sehari-hari
Dalam
kehidupan sosial sehari-hari, pemahaman terhadap wacana membantu kita
berinteraksi dengan lebih efektif. Misalnya, dalam komunikasi interpersonal,
memahami makna tersirat dalam percakapan dapat membantu kita merespons dengan
lebih tepat. Selain itu, kemampuan untuk menyusun wacana yang jelas dan
meyakinkan dapat meningkatkan kepercayaan diri dalam berbicara di depan umum
atau dalam situasi sosial lainnya.
6) Pengaruh
Media Sosial
Di era digital, media sosial menjadi salah satu platform utama di mana wacana berkembang dengan sangat cepat. Setiap orang dapat dengan mudah menyebarkan opini dan informasi melalui berbagai kanal digital. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memiliki keterampilan literasi digital yang baik agar tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang menyesatkan. Kemampuan untuk mengidentifikasi teknik persuasi dan propaganda dalam media sosial dapat membantu kita menjadi pengguna internet yang lebih kritis dan bertanggung jawab.
7) Pendidikan
dan Pengajaran
Selain dalam konteks individu, pemahaman
tentang wacana juga memiliki implikasi dalam bidang pendidikan. Guru dan
pendidik dapat menggunakan strategi komunikasi yang lebih efektif dalam
menyampaikan materi kepada siswa. Dengan menyusun wacana yang menarik dan mudah
dipahami, mereka dapat meningkatkan pemahaman dan minat belajar siswa. Selain
itu, siswa juga dapat diajarkan keterampilan analisis wacana agar mereka dapat
mengembangkan pemikiran kritis sejak dini.
8) Wacana
dalam Dunia Hukum
Dalam dunia hukum,
analisis wacana digunakan untuk menafsirkan undang-undang dan dokumen hukum
lainnya. Pengacara dan hakim sering kali harus memahami bagaimana bahasa dalam
dokumen hukum dapat mempengaruhi interpretasi suatu kasus. Dengan memahami
teknik retorika dan struktur wacana hukum, mereka dapat menyusun argumen yang
lebih meyakinkan di pengadilan.
Secara keseluruhan, pemahaman tentang pendekatan dan
pengembangan makna dalam wacana memiliki banyak manfaat dalam berbagai aspek
kehidupan. Dari analisis media hingga komunikasi bisnis, dari interaksi sosial
hingga pendidikan, keterampilan ini membantu kita menjadi individu yang lebih
kritis, komunikatif, dan efektif dalam menyampaikan serta memahami informasi.
Dengan meningkatkan kesadaran terhadap bagaimana wacana dibangun dan digunakan,
kita dapat lebih bijak dalam menanggapi berbagai informasi yang kita temui
sehari-hari.
Kesimpulan
Pendekatan
dalam analisis wacana memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai bagaimana
makna dikonstruksi dan dikembangkan dalam komunikasi. Pendekatan formal melihat
aspek struktural, pendekatan fungsional menyoroti penggunaan bahasa dalam
konteks sosial, dan pendekatan kritis meneliti aspek ideologi dalam wacana. Sementara
itu, pengembangan makna dalam wacana terjadi melalui mekanisme implikatur,
presuposisi, dan intertekstualitas. Dengan memahami karakteristik wacana, kita
dapat lebih bijak dalam menafsirkan dan menggunakan bahasa dalam berbagai
konteks komunikasi. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, kesadaran akan
bagaimana wacana bekerja tidak hanya berguna untuk memahami pesan yang kita
terima, tetapi juga untuk memastikan bahwa kita dapat berkomunikasi secara
efektif dan etis dalam berbagai situasi.
Daftar
Pusataka
Anisah, Z. (2016). Polisemi pada
Wacana Humor Indonesia Lawak Klub. AL HIKMAH Jurnal Studi Keislaman, 6(2),
152–167.
Arsiladeva,
D. P., Zahra, S. F., & Nurholis, N. (2023). Bentuk dan Struktur Novel 1984
Karya Orwell, G. Argopuro: Jurnal Multidisiplin Ilmu Bahasa, 1(4),
1–14. https://ejournal.warunayama.org/index.php/argopuro/article/view/1107
Bustam,
M. R. (2020). Ambiguitas struktural pada heading portal berita The Jakarta Post
dalam pemberitaan Pemilihan Gubernur Jawa Barat. Diglossia, 11(2),
55–67.
Garwan,
M. S. (2020). Analisis Semiotika pada Teks Al- Qur ’an Tentang
Intertekstualitas Julia Kristeva. Substantia, 22(April), 49–60.
Islamiyah,
H. Y., & Hermaliza, H. (2024). Teun a Van Dijk’S Critical Discourse
Analysis on Kompas.Com News. Language Literacy: Journal of Linguistics,
Literature, and Language Teaching, 8(1), 463–476.
https://doi.org/10.30743/ll.v8i1.9280
Juliantari,
N. K. (2017). Paradigma Analisis Wacana dalam Memahami Teks dan Konteks untuk
Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman. Acarya Pustaka, 3(1),
12. https://doi.org/10.23887/ap.v3i1.12732
Lahay,
S. J. (2022). Metafora dalam Kajian Linguistik, Sastra dan Terjemahan: Sebuah
Pengantar. Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra Dan Budaya, 9(1), 83–95.
https://doi.org/10.33541/dia.v9i1.4026
Ma’shumah,
N. K. (2021). Konstruksi Ideologi Pemerintah atas Praktik Radikalisme,
Anarkisme dan Intoleran oleh Ormas: Sebuah Pendekatan Tekstual dan Kritis. Mimesis,
2(1), 1. https://doi.org/10.12928/mms.v2i1.3455
Mardikantoro,
H. B., & Haryadi, M. (2018). Corruption in Media Construction:
Superstructure Analysis of Corruption News Texts in Indonesian National Private
Television. Advances in Social Science, Education and Humanities Research,
247(ISET 18), 200–204. https://doi.org/10.2991/iset-18.2018.42
Muis, S.
F. (2014). Analisis Wacana dalam Bahasa Indonesia. Shautut Tarbiyah, 31,
111–125.
Rohana,
R., & Syamsuddin, S. (2015). Analisis Wacana (1st ed.). CV. Samudra
Alif-MIM. http://eprints.unm.ac.id/19564/
Sardani,
R., & Indriani, S. (2018). Analisis Gaya Bahasa Kiasan dalam Berita
Industri pada Media Digital Republika dan Media Indonesia. Jurnal Basis,
5(1), 55–64.
Setiawan,
T. (2014). Ancangan Awal Praktik Analisis Wacana Kritis. Diksi, 2(22),
111–120. https://doi.org/10.21831/diksi.v2i22.3170
Wiyanti,
E. (2016). Kajian Kohesi Gramatikal Substitusi Dan Elipsis Dalam Novel “Laskar
Pelangi” Karya Andrea Hirata. Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra, 16(2),
188. https://doi.org/10.17509/bs_jpbsp.v16i2.4481
Komentar
Posting Komentar